Part 4

230 22 2
                                    

"Ra, insya Allah aku cariin tiketnya buat kamu. Udah dulu ya wassalamualaikum."

"Ya makasih banget Dit. Waalaikumussalam." Kututup telepon itu.

Hh sepupuku itu selalu direpotkan olehku. Perjalanan pertamaku menjelajah Mesir dan Turki ditemani olehnya dan ibuku. Dia yang carikan akomodasi untukku dan ibu yang saat itu aku masih kelas 8 dan sekarang aku nekat melakukan perjalananku sendirian ke Eropa tanpa bantuannya membuatku sedikit kebingungan. Niatku menonton MotoGP di Ceko dan Inggris tidak dapat terpenuhi karena aku kehabisan tiket dan Adit sekarang sedang mencarikan tiket GP Malaysia untukku. Selalu saja aku merepotkan orang lain.

Ponselku bergetar. Ternyata ada DM.

Aku di Granada. Kamu masih di sana, kan?

Iya, aku masih di Granada.

Aku ingin ketemu kamu. Di mana kita bisa ketemu?

Alhambra. Memangnya ada apa?

Nanti aku ceritakan semuanya. Aku sampai 15 menit lagi.

***

Aku duduk di sebuah kursi di jalan masuk istana Alhambra, menunggunya. Semburat mentari sore membuatku tenang dan ketika kulihat daun yang jatuh diterpa angin, aku belajar satu hal. Daun yang jatuh itu tak pernah membenci angin.

Lamunanku buyar saat seseorang duduk di sebelahku dan mulai membuka obrolan.

"Lihat matahari itu, Izarra."

Aku menoleh. Mendapati lelaki hispanik bermata teduh yang aku kagumi.

"Marc, kamu ternyata udah di sini." Aku malu jadi kupalingkan tatapanku darinya.

"Izarra, apa kamu tahu kalau matahari itu simbol cinta?"

Aku menggeleng.

"Matahari selalu menjaga kita, makhluk bumi, dari jauh. Karena kalau dia terlalu dekat, mungkin dia akan membakar kita, membuat kita tak nyaman, tapi jika dia terlalu jauh, kita juga akan kedinginan. Maka, matahari cukup menjaga kita dari jauh, mendekat apabila dibutuhkan, dan menjauh apabila kita merasa terlalu panas. Simple kan?"

"Intinya kita harus menjaga diri kita agar tidak terlalu mencintai seseorang. Karena kalau kita cinta terlalu dalam, sakitnya juga dalam. Iya kan? Kita tinggal berserah diri kepada-Nya karena jodoh sudah diatur oleh-Nya."

"Kamu pernah disakiti?"

"Iya. Makanya aku selalu berdoa biarkanlah aku mencintai jodohku saja."

"Kamu udah menemukannya?"

"Belum."

"Terus, gimana cara kamu mencintainya?"

"Aku gak pernah tau apa orang yang aku cintai adalah jodohku. Bisa jadi dia jodohku bisa jadi juga bukan. Aku gak selalu ceritakan dia ke teman-temanku yang penting aku sebut namanya dalam setiap doaku."

Ya Allah, aku baru menyadari aku mengobrol dengannya lama hingga matahari mulai bersembunyi di cakrawala. Apa yang telah aku katakan padanya? Kenapa tentang cinta?

Seakan tahu pertanyaanku itu, Marc menceritakan semuanya. Semua tentang hubungannya dengan Fiona tapi aku tak tahu harus berkata apa karena aku tidak berpengalaman dalam menjalin hubungan cinta dengan lawan jenisku. Aku belum pernah pacaran.

Tapi aku pernah disakiti.

"Ikhlaskan dia, Marc."

"Susah."

"Aku tau kamu masih sayang sama dia dan kamu ga bisa ngelepasin dia begitu aja tapi kamu lagi ada di posisi yang sama denganku tiga tahun yang lalu jadi aku bisa ngerti perasaan kamu sekarang."

Marc tersenyum sinis. Kulihat dari garis wajahnya ia benar-benar muak dengan hal ini. Dengan cintanya pada Fiona. Aku dan dia melanjutkan obrolan yang panjang sekali. Untung saja aku sedang halangan jadi aku tak meninggalkan kewajibanku hanya karena obrolan ini.

"Izarra, aku ingin putus dengannya. Dia seperti kekasih yang sangat loyal padaku tapi itu hanya pencitraan."

Aku termenung. Aku hanya orang yang baru dia temui.

"Aku curahkan ini semua karena aku mempercayaimu. Hatiku yang bilang itu, yang membawaku ke sini." Lalu Marc melanjutkan kata-katanya setelah menarik napas dalam-dalam. "Rasanya gak akan cukup aku cerita lebih banyak hari ini. Aku ingin lanjutkan besok. Ceritainnya aja udah capek apalagi ngejalaninnya."

"Tapi besok aku pulang. Ini hari terakhirku di sini. Gimana dong?"

"Umm...It's okay. Kita masih bisa ngobrol di DM atau.. mmm.. pinjam ponselmu. Boleh?"

"Here you go."

"Aku kasih kamu nomor telponku. Jangan kaget kalau tengah malam ponselmu berdering."

"Ok." Aku masih tak percaya hal ini.

"Do you have to go now?"

"Yeah I have to go back to the hotel then packing my stuff."

"I'll take you. C'mon."

Dia mengantarkanku ke hotel. Dalam perjalan, ada dua dunia yang berbeda. Di luar mobil, jalanan ramai sekali tapi di dalam mobil hanyalah keheningan. Kami tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Mm.. I don't kn.. mm.. como se dice en ingles?"

"What are you talking about?"

"Mm.. actually who's gonna be the first to say goodbye?"

"I think we will never say goodbye."

"Ok, then."

"Hasta la vista, Marc."

Aku masuk ke hotel dan tiap beberapa detik aku menoleh hanya untuk memastikan keberadaan Marc.

Hari ini tak pernah kubayangkan. Aku melihat sisi lain dari Marc yang membuatku semakin cinta kepadanya.

I consider him as my "Sun" ever since.

Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang