Aku kembali menatap Cordoba dari jendela kamar hotelku. Beberapa butir salju turun dengan damai menyentuh tanah. Aku masih menangis setelah aku mencurahkan semua kepada-Nya.
Kuambil ponselku. Aku ingin curhat kepada sahabatku dan menelpon Marc.
"Marc?"
"Ya, Zarra. Ada apa?"
"Aku pengen cerita sesuatu." Suaraku bergetar menahan tangis.
"Cerita apa? Kamu nangis?"
"Cerita tentang ayahku."
"Ceritakan, Zarra. Aku selalu ingin mendengarkan ceritamu."
"I've never met my father. I got separated from him since I was two years old. I just wanna meet him." Tangisku pecah, suaraku penuh rasa sakit.
"Zarra, do you know a little bit information about him?"
"Only his name and I have a picture of him. May I send it to you?"
"Yeah, of course."
"Ok. Wait a second."
Kukirim foto Papa kepada Marc. Ini mungkin tak akan mendapat hasil yang signifikan mengingat Papa adalah satu dari tujuh miliar penduduk bumi.
"Marc, itu ayahku. Aku ingat namanya Ahmad."
"Ok. Nama belakangnya?"
"Gatau. Yang pasti bukan Malik. Nama belakangku itu nama belakang ibuku, bukan ayahku."
"Zarra, stop crying. I don't like to hear you cry it seems that my heart is crying, too. And I hate it. I want you to be strong. But if you can't do this, please pray to God because He will make you feel better."
Aku diam seribu bahasa. Yang terdengar hanyalah napasku yang tak karuan dan deru napas Marc yang memburu. Aku bisa merasakan keanehan darinya.
"Zarra, I think I have a story to be told. Would you hear it?"
"Ye..yeah, I would. Where are you now?"
"I'm on the way to Granada."
"Ok. I will be there tomorrow. Alhambra at eleven a.m. Ok?"
"Ok. See you there, Zarra."
"See you there, Marc."
Keesokan harinya
Alhambra lagi. Perasaanku sekarang ini berkecamuk seperti pemberontakan-pemberontakan yang terjadi ratusan tahun lalu di tanah Andalusia ini. Pikiranku terus diisi wajah Papa dan semalam aku tak bisa tidur. Aku tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, terutama mataku. Aku yang sedang kacau ini hanya ingin bersama Marc, menceritakan hal-hal yang selama ini kusimpan dalam diamku.
Kutolak tawaran Adit untuk menemaniku ke sini karena aku kesal mengapa dia baru memberitahuku yang mana ayahku. Kekesalanku bertambah setelah melihat antrean pengunjung Alhambra. Walaupun tak sebanyak di musim panas, tapi kok masih ada yang mengunjungi Alhambra saat dingin seperti sekarang ini. Apa mereka juga sama sepertiku?
"Hey. Tak usah antre, kamu tinggal masuk," ujar suara dari balik punggungku. Aku pun berbalik.
Marc. Tangannya melambaikan tiket masuk dan memberikan satu untukku.
"What happens to your eyes?"
"It's not something special."
"It is. Tell me, you didn't sleep last night, did you?"
"I didn't sleep. I think you know what I feel now." Aku mulai menangis.
"Just cry, Zarra. I understand." Lalu, Marc memelukku. Sangat cepat hingga aku tak bisa menolaknya.
Astaghfirullah. Maafkan aku ya Allah.
Aku lalu melepaskan pelukannya perlahan. Aku tak tahu harus bicara apa, aku hanya ingin menangis.
"We have to find a comfortable place to talk about this problem. Ok?"
"Ok."
Aku dan Marc berjalan memasuki Alhambra. Aku dan dia memilih untuk pergi ke The Last Moor's Sigh atau dalam bahasa Spanyol disebut Puerto del Suspiro del Moro dan dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Zafrah al-Arabi al-Akhirah.
"I don't know how to start telling you about my father and my past. I don't have any special memories about my childhood. It's not interesting."
"Well, I'm interested about all your story. Do you want to tell me more about it?"
"No. I'm sorry."
"Don't say sorry."
"Because I don't have other words to say to you, Marc."
"Ok. I told you yesterday that I have a story to be told. Do you want to hear it or not, Señorita?"
"Si, Señor Márquez."
KAMU SEDANG MEMBACA
Puente Romano de Cordoba
FanfictionDi jembatan ini pertama kalinya aku bertemu denganmu, cinta pertamaku yang tak pernah kubayangkan kisahnya menjadi seperti sekarang setelah penantian yang panjang, aku temukan sejarah yang terpendam, aku temukan impianku yang lama kusimpan, aku mene...