Part 16

167 10 1
                                    

"Ok, aku bakal mulai dari hari pertama aku ketemu seseorang yang aku cari-cari sampai sekarang. Kita lagi ada di posisi yang sama jadi aku bisa ngerti perasaan kamu." Dia menoleh kepadaku sambil tersenyum bagai malaikat.

"Marc, kamu selalu mengerti keadaanku," timpalku. Dia kembali tersenyum sambil meminum bir yang sedari tadi dipegangnya.

"Hh Zarra aku cuma ingin orang yang ada di dekatku nyaman."

"Marc, mulailah bercerita. Aku tak sabar mendengar ceritamu itu."

"Ok, ok. Ceritanya panjang. Aku harap kamu gak tidur sebelum ceritanya selesai."

"No no no. Go ahead."

"Aku punya seorang teman, walaupun baru kenal sebentar, tapi ya bisa dibilang dekat. Tapi, dia orangnya agak tertutup. Dia gadis yang cantik dan ceria. Pertama kalinya aku ketemu dia di Cordoba, Puente Romano lebih tepatnya. Waktu itu, dia masih sepuluh tahun dan aku empat belas tahun. Aku merasa iba melihat dia sendirian jadi aku ajak dia ngobrol. Awalnya, dia agak hati-hati ngobrol denganku karena saat itu aku masih orang asing buatnya. Tapi akhirnya dia bilang rumahnya di Cervera, kotaku. Ternyata, dia baru pindah ke sana seminggu dan rumahnya itu bersebelahan denganku."

Ada diam yang lama. Tatapan Marc kosong dan sinar matanya mulai meredup.

"Teruskan," ucapku.

"Setelah sering bertemu di rumah, dia juga berteman baik dengan adikku. Kami berteman baik. Setelah beberapa bulan, dia bilang mau berlibur ke Paris. Tapi, setelah itu dia gak pernah kelihatan lagi. Aku kehilangan jejaknya. Aku masih nyari dia sampai sekarang. Sayangnya, aku bukan badan intelijen yang bisa mendeteksi sesuatu dengan akurat dan bisa merahasiakan apapun dengan rapi atau menerjemahkan kode-kode rumit."

"Terus, kamu gak tahu asal-usul keluarganya?"

"Aku gak tahu banyak tentang itu. Aku tahu ayahnya, biasanya aku panggil Señor Zufari. Aku cuma tahu dia orang Indonesia tanpa tahu dari kota mana dia berasal. Miris ya."

"Dia pasti perempuan yang berarti buat kamu."

"Aku sadar aku cinta dia setelah dia gak kembali dua tahun. Aku benar-benar ironis mencintai gadis yang lebih muda empat tahun dariku. Cinta datang terlambat."

"Hmm kalimat terakhirmu. Kayak judul lagu."

"Oh ya?"

"Iya. Lagu Indonesia tapinya."

"Mau lanjut?"

"Ya. Lanjutkan."

"Sahabatku pernah membantuku mencarinya tapi sekarang gak lagi karena dia sibuk kerja dan aku sibuk balapan. Tapi, bukan berarti aku bisa melupakan dia. Sahabatku itu pernah liat dia di rumah sakit di Malaga, gak tahu pasti dia lagi apa di sana. Karena, saat sahabatku itu akan menghampirinya, dia sudah masuk ke sebuah mobil sedan warna biru metalik. Gak tahu perginya ke mana."

Marc melanjutkan ceritanya tentang gadis itu.

Ayah gadis itu menceraikan istrinya lalu membawanya ke Spanyol dengan ibu barunya, Flor Muñoz Castella. Keduanya amat menyayangi gadis itu dan memberi gadis itu seorang adik lelaki yang lucu. Mereka menjadi keluarga yang sangat bahagia. Berbanding terbalik denganku. Sebahagianya aku, kalau tak ada ayah sama saja seperti planet tanpa atmosfer.

Awalnya, Marc menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri. Maklum, Marc hanya punya Alex sebagai adiknya dan menyayangi keduanya sama besarnya. Lama-kelamaan, Marc bosan dengan hatinya yang kosong, lalu mengisinya dengan gadis itu. Dia lalu mulai berpikiran dewasa untuk mencintai seseorang daan memikirkan matang-matang tentang perasaannya itu. Lalu, ada gadis lain yang menempati relung hatinya saat tujuh belas tahun. Namun, hubungan itu kandas dan hatinya kembali mengharapkan gadis kecil itu.

Dan rasa anehku meluap lagi. Apa ini berhubungan dengan anak kecil di foto yang aku temukan, yang mirip sekali denganku itu?

"Zarra," ucap Marc sambil mengunci mataku dengan mata coklatnya. "Kemarin, di restoran kebab, kamu sempat menyinggung soal foto aku dan anak perempuan yang berpose di depan rumahku, kan?"

Aku mengangguk.

"Itu aku dan gadis itu. Namanya Rara."

"Rara? Apa?!"

"Ya. Btw, kamu dapetin foto itu dari mana? Kok bisa tahu? Foto itu belum pernah diposting di media elektronik apapun sebelumnya."

"Aku nemuin foto itu di kotak yang aku pake sekarang buat nyimpen CD dan kaset koleksiku. Aku dapat benda itu dari kamar Mama."

Aku menunduk lebih dalam.

"How could it be? I don't understand that sort of thing. How could it be at your house? Are you Rara? You look like her, I actually. Really look like her."

"No, Marc. I'm Zarra, not Rara. I haven't been in Cervera. I've never lived in Europe. I'm not her. I'm me."

"I compare you with her. And I'm right. You are just like her."

"Please don't compare me with the others. Nobody compares to me."

"I'm sorry, Zarra. I'm really sorry."

Sedetik kemudian, tangannya memegang tanganku. Ya Allah maafkan hamba-Mu ini sekali lagi.

Aku mencoba melepaskannya, tapi tak bisa. Cengkramannya benar-benar kuat. Lalu, Marc membawaku pergi tanpa sepatah kata terucap.

"Marc, kita mau ke mana?"

Dia tak menjawab pertanyaanku dan terus berjalan menggandeng tanganku.

Setelah keluar dari Alhambra, dia membawaku berjalan terus tanpa tahu tujuan dan lamanya aku dan dia berjalan. Sepertinya kami berjalan ke utara.

"Marc, kita mau ke mana? Please, beritahu aku. Aku mohon," pintaku.

Dia tetap bungkam.

Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang