Part 14

146 9 0
                                    

"Dit, emang dulu gue dipanggil Rara, ya? Perasaan gue dipanggil Zarra deh sama kayak sekarang," aku memulai percakapan dengan Adit di lobi hotel.

"Iya. Dulu waktu SD kelas dua kalo gak salah. Masa lo lupa sih?"

"Iya kali ya."

"Emang kenapa?"

"Gak. Gue cuma ngerasa aneh aja."

"Apa yang aneh? Cerita, dong."

Aku langsung mencari foto itu dalam tas. Dua foto yang kutemukan dalam box coklat bulan lalu.

"Nih, coba liat deh, Dit. Ini mirip gue, kan?"

"Iya."

Mimik Adit berubah memerah, bibir dalamnya digigit dan kakinya bergeser-geser tak tenang.

"Lo kenapa?" Tanyaku.

"Nggak. Mm gini Zarra. Gue gak bisa nutup-nutupin sesuatu. Lo tau itu kan?"

"Iya. Terus?"

"Gue bakal bantu lo cari tahu siapa anak itu. Tapi gue gak bisa nyeritain to the point."

"Maksud lo apa sih? Gue butuh kejelasan, Dit."

"Ok, Zarra. Nanti semuanya bakal jelas. Cuma, jangan saat ini, belum waktunya. Lo sendiri ke sini antara perasaan kangen sama Marc dan lo takut ketemu dia. Ya kan?"

"Lo tau dari mana?"

"Keliatan, Zarra. Gue bisa baca kegelisahan lo dan sekarang gue tau akar masalahnya ya foto itu."

"Tapi, gue sendiri gatau kenapa takut ketemu dia padahal gue kangen dia. Gue ngerasa ada rasa sakit yang gatau asalnya dari mana. Lo tahu kan gue sayang sama Marc dan gue ngerasa cemburu sama anak kecil di foto itu tapi dia kan cuma anak kecil, ngapain gue cemburu. Dit, gue tuh bodoh Dit, bodoh! Dan jawab pertanyaan gue ini, di foto yang ini apa laki-laki itu ayah gue?"

Ada diam yang cukup lama. Aku menitikan air mata bukan karena Marc tapi sosok seorang ayah. Aku belum pernah bertemu Papaku. Namun, aku yakin Papaku ada, hanya tidak di sampingku. Yang aku tahu, Papa ada di suatu tempat yang jauh. Itu yang Mama bilang setiap kali aku bertanya di mana Papa.

Aku muak dengan keadaan ini. Aku butuh jawaban dan kejelasan. Dan aku yakin ini saatnya bagiku benar-benar mencari tahu di mana keberadaan Papa.

Pa, aku ingin tahu Papa di mana. Aku ingin seperti teman-temanku yang lain, yang kalau pulang sekolah di jemput oleh ayah mereka. Aku ingin mencium tangan Papa saat berangkat mencari ilmu. Tapi, aku tak tahu Papa di mana. Papa, ingin rasanya sekali saja aku melihat dan memeluk Papa. Boleh kan? Aku ingin Papa hadir saat pernikahanku suatu hari nanti.

Menuliskannya dalam buku harianku mengisi kekosongan momen ini hingga aku sudah tak sabar lagi menunggu jawaban Adit. Aku tahu, Adit punya cerita tentang Papa.

"Dit, jawab pertanyaan gue. Laki-laki ini ayah gue bukan?"

"Setelah lo denger jawaban gue, lo kudu balik ke kamar. Lo butuh waktu menyendiri. Ok?"

"Ok. Jawab, Dit. Sekarang."

"Iya. Dia Papa lo, Zarra."

Seketika, lagu Bohemian Rhapsody dari Queen muncul di pikiranku.

Is this the real life
Is this just fantasy
Caught in a landslide
No escape from reality
Open your eyes
Look up to the skies and see

Mataku berair dan aku langsung lari ke kamarku. Rasanya aku ingin mengadukan semuanya kepada-Nya dan bertanya banyak hal kepada-Nya. Apa maksud semua ini? Kenapa aku bisa terpisah dari Papa?

Dalam hatiku timbul banyak pertanyaan. Hanya Allah tempatku kembali. Aku harus menyerahkan semua ini kepada-Nya.

"Jodo, pati, jeung cilaka mah tos aya nu ngatur. Sagalana tos diatur ku Gusti Allah." Kata-kata mendiang nenekku sepuluh tahun yang lalu masih terngiang-ngiang di telingaku. Ya, semuanya sudah diatur Allah untuk hamba-Nya. Hanya Dia tempatku mencurahkan pikiran dan perasaanku.

Ya Allah, apa Papa ingat aku? Apa Papa merindukanku? Kenapa Papa menghilang dari kehidupanku? Lalu, siapa anak kecil itu? Apa semua ini ada benang merahnya?


Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang