Part 18

171 7 0
                                    

Marc's POV

Aku tak pernah tahu jadinya akan begini. Cintaku untuk Rara ditikung oleh cintaku untuk Zarra. Ya, aku mencintainya. Ada sebuah 'battle for 1st' di lubuk hatiku. Aku merasakan kegelisahan dalam jiwaku seolah-olah seperti chattering dan sekarang aku harus menaklukan chicane.

Dia tampak lebih rileks di sini, di sampingku. Tapi tetap saja kegelisahan hatinya terpancar meskipun berusaha ditutupi. Aku ingin sekali menggenggam tangannya seperti di mobil tadi tapi aku sesikit gugup untuk melakukan itu lagi.

Salju masih turun dan angin berembus lumayan kencang. Zarra menatap lurus ke depan dan aku bisa merasakan kerinduannya akan sosok seorang ayah. Dia tak pernah mengenal ayahnya dengan baik karena aku tahu saat ayahnya meninggalkan Zarra di usianya yang masih sangat kecil akan sangat berdampak bagi kondisi psikologisnya.

"Marc, bagaimana rasanya dicintai orang banyak?" Dia membuka percakapan.

"Menyenangkan dan kau akan merasa sangat bahagia karena bisa membahagiakan banyak orang dan membuat mereka tersenyum, senang, puas, dan yah itu semua berjalan alami dan aku sangat bersyukur akan hal itu," jawabku panjang lebar.

Ekspresinya datar sedatar wajah temannya dulu yang pernah ia ceritakan, Galuh namanya, kalau aku tak salah.

"Bagaimana rasanya punya seorang ayah yang ikut di setiap balapan? Apa kamu selalu menghabiskan waktu dengannya?"

"Zarra, lebih baik kita gak bicara tentang hal itu."

Aku mendengar isakan halus darinya dan kutarik dia ke dalam pelukanku. Aku tak peduli apa ada orang yang melihat atau tidak, yang jelas aku ingin membuat Zarra nyaman di dekatku.

Kini Zarra benar-benar menangis kencang dan perasaan mengganjal dalam hatinya membuncah. Setiap isakannya menggores hatiku karena dia yang kini mengisi hatiku. Tapi cintaku untuk Rara pun tak padam.

Sudahlah Marc, jangan kau banding-bandingkan lagi Rara dan Zarra. Jangan kau sakiti kedua perempuan yang kau cintai itu.

Bisikan hatiku itu terkadang tak sesuai dengan apa yang kupikirkan.

"Marc, karena aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, aku ingin mendengar kisah orang lain yang merasakannya. Jadi, aku bakal lebih yakin kalau aku gak akan disakiti laki-laki seperti yang ibuku rasakan. Hanya sedikit laki-laki yang bisa kupercaya. Kakekku, pamanku, sepupuku walau sekaraang aku masih kesal dengannya, dan kamu."

Aku. Dipercaya. Olehnya. Benarkah?

Tuhan, apa cerita ini akan rumit seperti kisah cinta dalam sebuah novel yang pernah dia rekomendasikan untukku, Namaku Merah karya Orhan Pamuk?

Aku harap tidak.

Aku semakin erat memeluknya dan tubuh tropisnya tampaknya sudah tak kuat dengan suhu dingin ini. Angin musim dingin telah lama menembus sweaternya.

"Ayo masuk mobil. Kuantar kamu kembali ke hotel, ya?"

"Nggak mau."

Aku tak tega melihat wajahnya yang memucat dan giginya yang bergemelutuk kedinginan. Tubuhnya juga melemas.

"Zarra, kamu bisa semakin kedinginan di sini. Kita ngobrol di mobil dengan penghangat. Ok?"

"Nggak, Marc. Aku ingin tetap di sini."

"Salju semakin banyak intensitasnya, aku yakin suhu turun beberapa derajat dibanding tadi. Kedinginan di sini bukan ide bagus buatmu."

"Nggak. Aku mohon, Marc. Ini tempat yang bagus saat salju datang."

"Oh, ayolah. Badanmu melemas dan kamu pucat, Zarra. Aku gak mau kamu sakit."

"Aku ingin tetap di sini."

Aku sadar, ketika dia sedang sedih dia akan menjadi keras kepala seperti sekarang ini.

"Apa kamu udah menghubungi Adit kalau kamu sedang bersamaku?"

"Belum. Biar saja dia mencariku. Biar dia tahu sulitnya mencari seseorang."

Kata terakhir Zarra mengecil volumenya. Dan, dia ambruk. Kubawa ia ke mobil.

"Oh, Zarra sudah kubilang kedinginan di sini bukan ide bagus buatmu."

Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang