Marc's POV
"Eh, Bang kok diem aja sih gak kayak biasa. Ada masalah?" Tanya Alex sambil memperhatikan buku yang dipegang olehku.
"Nggak kok. Tumben lo panggil gue 'bang'. Ada maunya ya?" Tanyaku sambil memicingkan mata.
"Terserah gue dong. Eh btw gimana analisis lo selama ini tentang Zarra?"
"Gue bingung sama dia. Orangnya kadang rame kadang diem banget, moody-an. Jadi agak susah sih tanya-tanya tentang masa kecilnya dan waktu gue pertama kali ketemu dia dulu, gue sempet cerita tentang masa kecil gue tapi dia gak mau ceritain masa kecilnya. Dia bilang cuma sedikit yang dia inget. Kesamaan dia sama Rara lumayan banyak. Dia kutu buku, agak tomboy, suka ilmu-ilmu geo-science dan lo nyadar gak sih mereka tuh mirip. Sampe gue keceplosan manggil dia Rara dan gue liat ekspresinya terkejut seakan mau bertanya 'kok manggil gue Rara?' Dia bener-bener ngingetin gue tentang Rara."
"Kapan lo manggil dia Rara?"
"Sepang 2014 di motorhome setelah dia rekomendasiin buku ini."
"La Tropa del Arco Iris. Coba sini liat."
Setelah aku sampai di Cordoba, aku lumayan merasakan ketenangan. Tapi, aku masih memikirkan Zarra. Dia mengingatkanku akan temanku dulu. Pertama kali aku bertemu dengannya di Cordoba, dia bilang dia sedang berlibur dan dia ikut ayahnya untuk tinggal di Barcelona. Aku sadar aku menyukainya bahkan mungkin mencintainya. Buktinya sampai sekarang, aku masih memikirkannya.
Aku mengenalnya memang sebentar karena beberapa bulan setelahnya, dia menghilang tak ada jejak sama sekali. Dia bilang dia dari Indonesia. Tapi Indonesia kan luas, gimana aku mencarinya ke sana? Aku harus mulai dari mana?
Tapi setelah aku mengenal Zarra, ada harapan kecil untukku. Walaupun aku tahu itu mustahil, tapi setidaknya aku telah berusaha mencarinya. Mereka mirip sekali. Apa Zarra itu Rara? Kalu Zarra itu Rara, mana mungkin dia lupa aku?
"Bang, lo jangan terlalu banyak pikiran. Bukannya lo ke sini pengen ketenangan dari sorotan kamera dari seluruh Catalunya? Bentar lagi kita mulai GP lagi dan test pra-musim di depan mata," Alex mengingatkanku.
"Gue masih bisa ngatasin semuanya kok. Cuma gue bingung aja sama Zarra."
"Kenapa bingung? Lo kenapa sih? Gue juga jadi bingung sama lo yang bingung. Ah pusing gue."
"Ya udah buat lo yang gak suka kerumitan, mending gak usah ikut mikirin masalah ini."
"Tapi lo kan abang gue, masalah lo masalah gue juga."
"Gue kadang mikir, mending gue ngerjain soal matematika yang paling rumit daripada nyari keberadaan Rara. Cuma gue sayang sama dia, jadi gue rela berusaha nyari dia. Walau gue tahu itu gak akan berjalan mulus, pasti banyak tantangan dan gue harus menomorsatukan balapan juga di samping itu gue tetep yakin gue bisa ketemu dia lagi dan ngungkapin perasaan gue selama ini."
"Bisa gak lo gak usah nyangkutin masalah ini sama matematika? Bikin gue makin pusing. Dan oh ya lo itu kenapa baru mau ngungkapin perasaan lo itu setelah Rara menghilang?"
"Semuanya butuh proses, Al. Kita bisa balapan kayak sekarang aja prosesnya lama apalagi ini masalah perasaan. Gue gak mau bikin dia ngejauhin gue setelah tahu perasaan gue ke dia. Bisa jadi dia terima gue, dia nolak gue karena jijik ama gue, atau nolak gue karena dia udah punya pacar atau gak mau pacaran."
"Bang, lo tuh ganteng pasti dia suka ama lo."
"Gak selamanya begitu. Tiap orang beda selera. Selalu ada yang pro atau kontra. Lo tahu kan MotoGP fans saat ini."
"Ya oke gue ngerti. Mending kita bahas regulasi baru buat musim ini," ujar Alex mengubah topik pembicaraan. Alex selalu berhasil membuatku berpaling sebentar dari masalah.
"Gue harus bisa beradaptasi dengan cepat sama ban baru dan gue belum mutusin apa gue bakal pake winglets atau ga buat di Qatar nanti. Kalo winglets dipake di motor gue keknya tetep deh bakal wheelie."
"Keknya gaya elbow down lu kudu diubah dikit deh."
"Iya tapi gue tetep pake gaya itu karena ya itu cara gue di tikungan."
"Lo udah coba kan ECU baru?"
"Udah."
Hm begitulah kita, kakak beradik yang selalu akur dengan hobi dan profesi yang sama. Semua persoalan bermuara di satu topik. Motor.
Aku tak terlalu fokus saat berdiskusi dengan Alex masalah regulasi baru karena pikiranku tetap melayang ke satu nama, Rara. Tapi aku sadar sekarang ini aku tak usah terlalu banyak memikirkannya karena pekerjaanku akan lebih berat di musim ini dengan regulasi baru penyeragaman ECU Magneti Marelli dan motorku masih terlalu agresif.
Nama itu pasti muncul setiap malam. Menyapaku dalam mimpi dan senyumnya melekat terus di ingatanku, matanya yang indah membuatku serasa melihat bidadari dan dia selalu ada di suatu tempat di hatiku seperti bintang Polaris yang selalu diam di tempat yang sama.
I wish my brain had a map to tell me where my heart should go.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puente Romano de Cordoba
FanfictionDi jembatan ini pertama kalinya aku bertemu denganmu, cinta pertamaku yang tak pernah kubayangkan kisahnya menjadi seperti sekarang setelah penantian yang panjang, aku temukan sejarah yang terpendam, aku temukan impianku yang lama kusimpan, aku mene...