Part 12

167 12 0
                                    

Setelah aku, Adit dan Marc selesai makan, Adit dan Marc masih tetap membicarakan hal yang sama dari saat kami bertiga jalan ke tempat ini. Regulasi baru MotoGP 2016.

"Ada rencana ke Indonesia gak?" Tanya Adit.

"Ada. Nanti tanggal 14 Februari ada acara di Sentul. Mau datang?" Tawar Marc.

"Kalo aku sih mau. Cuma gatau nih si Zarra. Dia tuh sebenernya sibuk tapi nyempetin datang ke sini. Berarti, lo bisa nyempetin dateng dong ntar?"

"Iya diusahain deh. Tunggu aja kabar dari aku ya Marc."

"Selalu aku tunggu kabarmu, Zarra."

Adit dan Marc melanjutkan obrolan mereka tentang dunia otomotif sedangkan aku asyik menuliskan lirik lagu yang sangat pas dengan perasaanku saat ini.

Llego la hora de mirar, lo que mi corazón no ve
Poner delante la razón, que ser de golpe aprender
Me dice que te quiera, mas no puedo seguir ciega
Es momento de pedirle al corazón que ya no hable por mi

The time has come to see what my heart doesn't
To put the reason to be ahead, to learn suddenly
It tells me that I should love you, I can't go on blind anymore
It's time to ask that my heart no longer speak for me
No longer speak for me

Hatiku seakan-akan skakmat. Tak bisa berpindah atau pergi ke mana pun. Mungkin aku hanya bisa mencintainya. Bukankah aku berdoa untuk hanya mencintai jodohku saja? Berarti, dia itu..hh lupakan. Jodoh gak akan ke mana-mana kok walapun sekarang belum tahu di mana.

"Eh gue ke toilet dulu bentar," ucap Adit.

Tinggal aku dan Marc. Baru saja Marc akan berbicara, seorang perempuan cantik meminta untuk berfoto dengan Marc.

"Marc, una foto, por favor?"

"Si, si claro."

Aku memperhatikan mereka dan aku rasa mereka cocok. Selalu begitu. Aku selalu berpikiran begitu. Irikah aku dengan fans Marc yang lain? Seharusnya aku bersyukur bisa berteman dengannya, berbeda dari kebanyakan fansnya yang lain. Tunggu, aku harus berpikir keras atas hal yang baru kutemukan sebelum berangkat ke Spanyol. Hal yang membuatku takut bertemu dengan Marc. Tapi, aku belum bisa menerimanya dan aku sendiri masih bingung akan hal itu.

"Zarra, kamu bikin puisi lagi?" Tanya Marc memecah lamunanku.

"Oh nggak kok. Ini lirik lagu Fifth Harmony," jawabku.

"Apa judulnya?" Tanyanya.

"Que El Corazón No Hable Por Mi," jawabku.

Aku menyerahkan buku harianku itu kepadanya. Dia membacanya tanpa ekspresi, hanya menjulurkan lidah berkali-kali seperti biasa.

"Marc!" Seseorang memanggil Marc dan aku langsung tahu siapa dia. Suaranya sangat familiar.

Alex. Calon adik iparku. Eh Zarra jangan berkhayal. Belum tentu Zarra, jangan berharap banyak.

"Hola. Kamu pasti Zarra, kan?"

Aku mengangguk sambil berjabat tangan dengannya.

"Marc sering banget nyeritain kamu. Kayaknya dia..."

"Berisik, Al," sergah Marc.

"Ok ok, tenang yah tenang," ucap Alex sambil memperlihatkan sikap manis seperti anak kecil minta permen.

"Wah, bro. It's nice to meet you again," kata Adit yang ternyata sudah kembali dari toilet.

Dan mereka mengobrol seperti ibu-ibu PKK. Kuputuskan untuk mengobrol dengan Marc saja.

"Marc, maafin aku tadi. Aku gak tahu harus nyeritainnya gimana. Aku belum bisa nerima kenyataan itu," aku membuka percakapan.

"Gapapa, Zarra. Emang kenyataan apa? Kamu lagi ada masalah?"

"Mm bukan gitu tapi, aku pengen bertanya satu hal. Boleh?"

"Of course."

"Aku tahu rumah kamu dari pencarianku di Google Maps. Carrer Santa Coloma de Queralt nomor 25, kan?"

"Iya. Terus?"

"Apa kamu inget kamu pernah foto bareng anak perempuan di halaman depan rumah nomor 27? Aku rasa itu temen kamu, deh." Lidahku yang kukira tak akan bisa menanyakannya, akhirnya beraksi di luar ekspekstasiku. Seharusnya jangan to the point. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Aku terlanjur mengucapkannya.

"Oh iya itu teman lamaku. Namanya Rara. Dia menghilang setelah beberapa bulan tinggal di Cervera. Sebenarnya, dia bakal tinggal di Barcelona tapi ayahnya lebih suka Cervera yang lebih tenang daripada Barcelona. Emangnya ada apa? Kok kamu bisa tahu foto itu?"

"Nggak.. aku juga gak tahu kenapa. Ya udah deh gak usah dipikirin lagi ya. Aku cuma nanya aja kok."

Ekspresinya membuatku tak nyaman. Seakan ada sesuatu yang mengganjal hatinya ketika dia menyebutkan nama itu. Rara. Nama kecilku. Nama anak perempuan itu. Teman lamanya. Di Cervera. Yang ikut ayahnya. Ayah. Ayah. Aku bahkan tak tahu di mana ayah. Mama bilang ayahku meninggalkan aku dan Mama saat umurku dua tahun. Lalu, anak itu yang berfoto dengannya.. kenapa Mama memiliki foto itu? Siapa dia? Kenapa dengan Marc?

"Zarra, Adit mengajakmu pulang," ucap Marc.

"Lo jangan banyak ngelamun," ucap Adit.

"Nggak kok. Yang penting pikiran gue gak kosong, ya kan."

"Gue ngajak lo pulang dari tadi tapi lo gak denger."

"Ya maaf, Dit. Mm Marc, lupakan yang tadi ya, please. Aku cuma nanya doang kok," pintaku sambil tersenyum lebar.

"Iya," jawab Marc seraya menata rambutnya yang sebenarnya sudah rapi. Lagi-lagi, aku ingin mati dibuatnya. Jangan! Lebih baik pingsan. Aku belum siap mati.

"Marc, Alex, hasta la vista."

"Hasta la vista."

Dan aku pun berjalan terus tanpa menoleh ke belakang.


Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang