Part 8

201 17 1
                                    

Marc's POV

Malas sekali aku untuk membuka handphoneku. Aku memang tak memasukkan ke hati komentar-komentar para haters yang meluangkan waktu mereka hanya untuk mencelaku tapi itu membuatku risih. Puluhan ribu notifikasi masuk ke akun Instagramku. Percuma komen macam-macam padahal tak dibaca olehku, hanya sekilas kubaca itu pun yang memakai capslock saja. Yang lainnya? Tak kugubris! Seharusnya mereka cukup mendukung idola mereka dan mendoakan yang terbaik untuknya. Sungguh, mereka termasuk orang yang rugi.

Sebenarnya, aku ingin sekali chat dengan Zarra lagi. Tapi aku tak mau mengungkit masalah ini. Aku tak mau membagi kesedihanku kepadanya karena aku hanya ingin lihat dia bahagia. Kesan pertama yang aku lihat dari Zarra, dia seperti terlalu banyak pikiran dan beban, terlihat dari pandangan mata dan mimiknya. Aku tak mau menambah pikirannya dengan masalahku. Jadi, kuurungkan niat untuk chat dengannya, lagipula dia sibuk kuliah.

Besok aku pulang ke Cervera, tinggal sampai lima hari setelah Natal lalu ke Cordoba dan Granada. I'm very excited about Granada because my paternal name-Márquez comes from Granada.

Sebenarnya, aku agak malas dengan perayaan tahun baru, itu artinya jalanan ramai dan berisik oleh suara kembang api. Di waktu berlibur seperti ini, aku tak ingin ada keributan, blitz kamera dan jeritan fans perempuan 12-13 tahunan yang melengking. Rasanya, Cordoba dan Granada bisa menjadi opsi untukku ya walau sudah pasti akan ada yang menghampiriku sekadar untuk meminta tanda tangan atau foto, tak masalah, toh tidak seramai di Cervera atau Barcelona.

"Marc, nanti gue ikut sama lo. Kalo lo ngebiarin gue di rumah, Mama pasti nyuruh gue bersih-bersih. Males!" Ucap Alex sambil terus bermain PS Vita.

"Iya, Al. Ehh lo maen PS gak ngajak gue. Ganti jangan di PS Vita, battle ama gue di PS4," suruhku.

"Eh, btw lo lagi suka sama cewe ya?"

"Kok nanya gitu? Kepo banget sih lo."

"Ya pantes aja kali dari pertengahn 2015 sampe kemaren sore, gue denger ada suara-suara aneh dari dalem kamar dan gue yakin itu suara lo. Kan lo kalo jatuh cinta emang begitu. Ya kan?"

"Daripada lo, cuma diem di pojokan sambil blushing. Kek cewe tau!"

"Benci gue ama lo ngungkit hal itu. Sekarang kan gak terlalu begitu lah."

"Udah lah berisik aja lo."

Alex benar. Aku memang sedang jatuh cinta. Kali ini, mungkin takkan salah pilih. Tuhan, aku ingin bertemu dengannya lagi. Sayangnya, aku masih trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Semua ini karena Fiona. Ah, dia masa laluku, cukup di masa lalu. Aku hidup di masa kini bukan masa lalu lagi. The past is the past, time to move on.

Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang