Entah sudah keberapa kalinya Rena menangisi keadaan putranya. Setelah seminggu lamanya, Galang seolah tak berniat membuka matanya sedikitpun. Nabila hanya bisa memeluk wanita yang telah ia anggap ibunya sendiri. Dalam hati selalu merapalkan doa agar setidaknya laki - laki itu membuka matanya. Wajahnya sudah terlihat semakin pucat dan tirus saja. Selama seminggu tak ada sedikitpun makanan yang masuk ketubuhnya selain infus yang membuatnya bertahan tanpa merasa lapar.
Rena mengusap air matanya. Ditataplah wajah Nabila yang ternyata sedari tadi juga menangis. Gadis itu sudah lengkap dengan seragam Sekolahnya dan tas ransel yang menggantung dipundaknya. Nabila memilih kemari guna memastikan apa Galang sudah sadar atau belum? Namun kenyataan pahit yang ia dapatkan.
Rena pun mengusap wajah gadis itu yang sudah dipenuhi aliran air.
"Kamu tenang, ya! Galang akan baik-baik saja. Mungkin ia hanya lelah dengan kejamnya kehidupan dan ingin beristirahat sejenak."
"Tapi mau sampai kapan, Tante? Ini udah seminggu. Tapi Galang masih gak mau buka matanya juga. Nabila takut, Tan!" Tangis Nabila pecah. Padahal tadi ia ingin menahan tangisannya saja.
Rena mengangguk. Ia juga takut sebenarnya. Cidera kepala bukan hal yang bisa dianggap remeh. Kejatuhan pot keramik berisi tanah dan batu dari ketinggian bisa menjadi sesuatu yang fatal. Bagaimana jika cideranya fatal yang bisa mengakibatkan kematian? Sesegera mungkin Rena menyingkirkan pemikiran buruknya. Sungguh ia tak ingin kehilangan anaknya. Kehilangan suami saja membuatnya hilang arah. Apalagi si buah hati yang dicintainya turut pergi? Ia tak mau untuk membayangkannya.
"Sudah. Sekarang kamu ke Sekolah, ini sudah jam segini. Nanti kamu terlambat. Jangan khawatirkan Galang. Ada Tante yang menemaninya." Saran Rena.
Nabila mengangguk. Segera diciumlah tangan Rena sebagai tanda berpamitan. "Nabila berangkat, Tante."
"Hati - hati, sayang!"
***
"Kenan!"
Kenan menoleh dirasa ada yang memanggilnya.
"Alice? Kenapa?"
Alice terdiam. Ia terlihat bingung dengan apa yang akan ia ucapkan. Berakhirlah gadis itu hanya termenung.
"Lice?" Tanya Kenan sambil menggerakkan tangannya di depan wajah Alice.
Alice tersadar. Ia tergagap sekarang. "Hmm. Anu.. itu."
Kenan menukikkan alisnya tak sabar. Alice terlalu menunda nunda.
"Lo. Mau jenguk Galang?" Tanyanya yang sedari tadi bingung mencari kalimat yang pas.
Kenan tersenyum. Entah Kenan merasa, kalau gadis yang ada dihadapannya ini menyukai Galang. Kalau memang benar, Kenan salut. Ternyata Galang bisa meluluhkan hati dingin Alice.
"Kenapa? Lo mau ikut jenguk dia, atau mau nanyain keadaanya aja?"
"Kalo boleh dua - duanya, gue pilih dua - duanya."
Kenan menghela napas. "Belum ada perubahan, Lice. Galang belum sadar. Iya. Sehabis pulang Sekolah gue mau nengok dia. Lo mau ikut?
Sontak Alice mengangguk.
"Ya udah. Nanti gue tunggu di Parkiran."
***
"Lo gak bareng Rebecca?"
Mendengar pertanyaan itu, Kenan menoleh pada Alice. Ia menggeleng.
"Nggak. Dia masih ada urusan. Katanya gue duluan aja. Atau, lo gak nyaman kalo cuma berdua gue doang?"
Alice menggeleng. Ia tak mempermasalahkan itu. Toh, hubungan ia dengan Willy sudah kandas dihari ia tau kebenarannya. Walaupun laki - laki itu menolak. Jadi, tak perlu ada perasaan yang harus dia jaga, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
GALANG
Подростковая литератураGalang si cowok ganteng, namun kehidupannya yang tak seindah rupanya. Percintaannya kerap kali tak berjalan mulus, begitupun hidupnya. Menyembunyikan semua kesakitannya. Nabila yang selalu menolak cintanya, dan Mikayla yang selalu mengusik hidupnya...