Tentang Khadafy.
"Pulang gak lo?"
Khadafy mendongak menatap pria yang seumuran dengannya, wajah cowok itu kusam sekali setelah duduk diam di sekolah selama seharian. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa cowok itu memang tampan, meski dalam keadaan berantakan sekalipun.
"Anterin gue ke makam Bunda dulu, tapi." Pinta Khadafy, cowok dengan baju rapi namun sudah terlihat kucel serta tas yang lebih besar dari tubuhnya, biasalah ciri khas anak ambis.
"Gampang." Cowok itu kembali menyalakan motor vario nya, menunggu Khadafy untuk naik. Keduanya memang sering pulang bersama, kebetulan kost kost an tempat Khadafy tinggal itu dekat dengan kediaman cowok itu, dan mereka juga dekat karena berada di kelas dan bangku yang sama.
"Hari ini, tepat 100 hari Bunda gue meninggal, Rel." Gumam Khadafy pada cowok yang menjelma menjadi sahabatnya itu, hubungan kedua nya sudah seperti Boboiboy dan Fang, awalnya saling ingin mengalahkan namun takdir berkata lain.
"Gue ikut ke makam deh, kangen juga." Balas Karel Gavileo, remaja dengan sejuta kesempurnaan dan paras pari purna yang berhasil memikat hati para siswi di SMA Satria Cendekia pada masa nya.
"Gue kangen dimasakin Bunda lo." Gumam Karel, mata nya yang tajam fokus melihat jalanan yang mereka lewati.
"Jangan kangen, berat, biar gue aja." Balas Khadafy.
"Najis, gelay!"
Mereka bukan saudara, tapi Bunda Khadafy itu sudah seperti ibu kedua untuk Karel, menggantikan peran Mama nya yang terbaring koma di rumah sakit kala itu. Kedua anak adam itu sama-sama kuat, yang satu kesepian yang satu lagi tak kalah kesepiannya.
"Lo belum cerita pasal SNBP lo kemarin." Ucap Khadafy membuka topik pembicaraan di sela-sela perjalanan mereka kala itu.
"Gue diterima di manajemen, lo?"
"Gue di Seni, lo tetep di Satya Radja kan?"
"Iyalah! Papa gue lulusan sana."
Mendung menemani perjalanan mereka di sore hari ini, setelah membeli bunga sekar, Khadafy dan Karel kembali berjalan menuju pemakaman yang terlihat ramai, menjelang bulan puasa tahun ini, Khadafy banyak banyak berkunjung bukan hanya karena alasan kangen belaka.
"Bun, Dafy bawa Si Patung."
Karel yang tadinya sumringah mendadak menatap Khadafy malas. Bisa-bisanya disaat seperti ini cowok itu masih memanggilnya Patung.
Patung itu first impression dari Bunda Khadafy untuk Karel. Mengingat cowok itu berwajah lempeng tanpa ekspresi selalu diibaratkan sebagai patung oleh Bunda Khadafy. Hal itu membuat Khadafy ikut ikut memanggilnya Patung.
"Bentar lagi puasa, udah hampir setengah tahun lamanya, kita harusnya ngabuburit bareng lagi. Dafy pengen diteriakin Bunda lagi pas sahur." Khadafy mulai duduk nyaman disamping makam Bundanya, dengan Karel yang juga duduk di depannya, membuat makam itu berada ditengah-tengah dua remaja yang akan lulus SMA beberapa bulan mendatang.
"Dafy keterima Seni nih Bun, mau jadi musisi terkenal kata nya, padahal hobi nya gebrak gebrak meja doang kalau di kelas." Jelas Karel yang mengadu pada Bunda Khadafy.
"Karel juga keterima manajemen Bun, keren kan Si Patung ini, tapi lebih keren lagi kalau dia punya gelar Dokter." Khadafy ikut mengadu, Karel terkekeh pelan dengan ucapan Khadafy, memang satu-satunya orang yang paham akan masalah keluarganya ya cuma Khadafy. Hampir 7 tahun mereka berteman dan Khadafy adalah tempat pulang cowok yang sedang brokenhome itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Senja [ END ]
Jugendliteratur"Apa yang membuatmu merasa nyaman?" "Entahlah, mungkin ... sebuah kebebasan, dan kenyamanan yang menghangatkan," "Kalau begitu, bolehkah aku memberi sebuah kebebasan dan kenyamanan buat kamu?" Khadafy selalu terpesona oleh Senja, keindahan yang meng...