13 - lalu pergi?

92 56 88
                                        

happy reading!









Seperti janji Khadafy kemarin, dirinya akan mengajak Senja menonton sebuah film berjudul 'Jembatan Pensil'. Setelah kelas mereka usai dan sepi, Khadafy menyalakan proyektor yang tersedia di kelas mereka, menyambungkan segala kabel dengan laptopnya untuk menampilkan sebuah film disana.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya lembut dari proyektor. Suasana yang syahdu membuat mereka merasa lebih dekat. Adegan dimulai dengan suasana kota di pinggir pantai yang begitu ramai namun penuh kasih sayang, mengisahkan seorang anak disabilitas yang memiliki semangat belajar yang tinggi.

Khadafy menoleh, ingin memastikan bahwa Senja benar-benar menikmati film yang sedang mereka tonton. Cahaya dari layar menerangi wajah mereka, menciptakan momen yang seolah menghentikan waktu. Ketika cerita film semakin mendekati akhir, air mata mulai berlinang di wajah mereka, mencerminkan emosi yang begitu dalam dan penuh keindahan. Di tengah kesedihan yang melanda, ada kehangatan yang membungkus mereka, seakan film ini menjadi saksi bisu kebersamaan mereka yang tak terlupakan.

"Filmnya keren ya, Khadafy," bisik Senja, menoleh ke arah Khadafy yang duduk di sebelahnya. Film yang mereka tonton sudah berakhir, menyisakan sebuah isakan lembut dan tawa ringan sebagai bentuk tinjauan pada film itu.

"Iya, lumayan buat ngilangin stres habis belajar seharian," kata Khadafy sambil tersenyum. Dia memperhatikan Senja yang masih mengusap air matanya setelah menonton film.

Khadafy mendekat sedikit, merogoh tasnya yang tergeletak diatas kursi yang tidak jauh darinya hanya untuk sekedar mengambil tisu dan memberikannya kepada Senja. "Kamu juga ngga kalah keren, karena nonton sampai selesai," ujarnya dengan lembut.

Senja tertawa kecil, menerima tisu itu. "Makasih, Khadafy."

Kedua nya pun mulai berkemas untuk pulang, dan kali ini Khadafy memberanikan diri menawarkan tumpangan. "Ayo, aku anter pulang,"

Senja mengangguk setuju. Untuk hari ini, hatinya hangat sekali, "Boleh, makasih, Khadafy."

Mereka berjalan santai menuju parkiran, dan sepanjang perjalanan itu pula, Khadafy ingin sekali menggandeng tangan Senja, memberikan sebuah kehangatan, sama seperti sore yang cerah ini. Taman Satya Radja yang mereka lewati cukup sepi, menjadi saksi bisu dua insan yang tengah mengobati kerinduan masing-masing.

"Senja, kamu pernah mikir nggak, hidup kita ini kayak perjalanan naik motor?" tanya Khadafy sambil tersenyum. Terbesit sebuah topik agar suasana mereka tidak canggung.

Senja tersenyum, kemudian berfikir sejenak. "Enggak sih, emangnya kenapa?"

"Kadang jalannya mulus, kadang berlubang. Tapi, selama kita bekerjasama, menghadapi semua bersama, semua bisa dihadapi," jawab Khadafy dengan bijak. Dirinya sepenuhnya sadar dengan apa yang dia ucapkan, mengabaikan Senja yang terkekeh malu-malu karena hal itu.

"Jadi, kuncinya adalah saling percaya satu sama lain, iya kan?" Tanya Senja dengan suara lembut kepada Khadafy, kali ini Khadafy yang malu-malu, Senja terlihat begitu cantik saat tersenyum, Khadafy selalu ingin melihatnya.

"Iya, dan juga percaya bahwa jalan Tuhan ngga akan pernah salah," gumam Khadafy pada akhirnya, momen ini benar-benar perlu diabadikan, disaat keduanya sama-sama terkekeh, melupakan sejenak cobaan yang pernah mereka alami sebelumnya.

Mereka pun sampai di moge klasik Khadafy yang sendirian di parkiran, terlihat bahwa para mahasiswa dan mahasiswi sudah pulang ke rumah masing-masing.

"Yuk, Mas Dafy antar pulang, Tuan Putri!" Ajak Khadafy dengan gaya jenaka nya yang berhasil membuat Senja terkekeh geli.

Hai, Senja [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang