12 - sebuah rindu

70 48 31
                                    

happy reading!







Suara alarm membuat gadis berkerudung itu mendongak kaget, posisi nya terduduk di kursi meja belajarnya. Tangannya sedikit gemetar untuk menggeser layar ponselnya, suara alarm itu tepat berada disamping telinga nya membuat sekujur tubuhnya merinding.

Pukul 03.00. Hari pertama ujian tengah semester yang begitu sunyi.

Beberapa hari yang lalu, Senja hanya mengirimkan hasil penelitian kepada Khadafy tanpa tambahan basa-basi. Jujur saja, Senja merasa cemas dengan kehadiran kembali Bram yang kembali dan bergabung di kehidupannya. Hal itu membuatnya kesusahan untuk bersama-sama dengan Khadafy seperti biasa.

Alasannya klise, Bram akan selalu mengantarnya kemanapun Senja pergi.

Gadis itu menutup bukunya yang ia gunakan untuk belajar tadi malam, sampai ketiduran saking fokusnya, Senja tidak pernah mendapatkan IPK rendah, maka dari itu dirinya harus terus mempertahankan IPK nya. Mungkin tahajjud akan menenangkan pikirannya dari beban akhir-akhir ini, meski nyata nya Bram akan selalu hadir, sementara Khadafy perlahan menjauh.

Keadaan rumah yang sangat tenang membuat air wudhu yang jatuh ke permukaan kulitnya menjadi begitu dingin, Senja jadi ingin segera mandi setelah sholat shubuh nanti. Di kamar pun kipas angin juga menyala, terbayang bagaimana dingin dan tenangnya suasana pada saat itu.

"Ushalli sunnatat tahajjudi rak'ataini lillahi ta'ala ..-"

"-... Allahuakbar."

Senja memulai sholat tahajjudnya, memohon kepada Tuhan agar memberikan kenyamanan selama ujian tengah semester yang akan ia laksanakan, agar bisa fokus pada ujian tersebut tanpa terpengaruh oleh orang lain. Meski hidup penuh liku, Senja mengakui kelemahannya, tidak mampu menerima kehadiran kembali Bram, dan juga bingung dengan perasaannya terhadap Khadafy.

Di antara kerinduan dan rasa yang bingung, Senja belum yakin akan perasaannya terhadap Khadafy. Namun, dari dalam lubuk hatinya, ia berharap bahwa Khadafy juga merasakan hal yang sama.

Tersentuh oleh setiap sujudnya yang mengingatkannya pada Khadafy, air mata Senja tak terbendung. Jika Khadafy adalah jalan yang ditunjukkan Tuhan, mengapa Bram juga hadir? Mungkin ini ujian, berharap Khadafy dan Senja mampu melewatinya bersama.

"Ya Allah yang Maha Pengasih, jika dia adalah takdir yang telah Engkau tetapkan untukku, dekatkanlah hati kami satu sama lain. Izinkanlah aku merasakan kedamaian dan kenyamanan dalam kebersamaannya, serta jauhkanlah segala hal yang dapat mengganggu hubungan kami. Aamiin," ucapnya dengan penuh harap dan keikhlasan, air mata pun mengalir mengiringi doanya yang penuh ketulusan.

Di ruangan gelap yang berbeda, Khadafy juga merenung di mushola kecil yang ada di kost nya. Bahkan sifat penakutnya hilang begitu saja, kini cowok itu baru saja selesai menunaikan ibadah sholat tahajjudnya, setelah seharian menyelesaikan tugas kerja kelompoknya yang sedikit terlambat. Akibat tidak memiliki waktu untuk kerja kelompok, lebih tepatnya Senja yang susah untuk diajak, Bram adalah sosok yang menjadi penghalang antara mereka.

Khadafy menunduk, kedua tangannya menengadah, seolah meminta sesuatu.

"Ya Allah, beri aku jalan terbaikmu. Aamiin."

Meski jarang menangis, Khadafy membiarkan air matanya mengalir di dalam kegelapan mushola, menjadi saksi bagaimana ketulusannya memohon bantuan Tuhan untuk memperjuangkan cintanya. Dia tidak menutupi kekalahan dirinya, menyadari bahwa Bram memiliki keunggulan karena lebih lama mengenal Senja, mungkin akan lebih mudah mendapat restu dari kedua orangtuanya.

Namun, Khadafy hanya menginginkan yang terbaik. Jika bukan Senja, maka tidak dengan siapapun. Perasaannya begitu besar, sehingga dia bersedia menunggu saat yang tepat untuk menyatakan perasaannya.

Hai, Senja [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang