18.5 - perjalanan telah usai

90 43 26
                                    

Happy Reading!




Senja melangkah cepat melalui lorong yang sunyi dan penuh keheningan. Langkahnya ringan, mendekati sosok lelaki di ujung lorong. Matanya yang sembab dan merah menunjukkan kekhawatiran yang mendalam, sementara lelaki itu tampak sudah mengetahui semuanya.

"Jelasin. Semuanya. Rava." pinta Senja penuh penekanan kepada Rava Danendra, teman dekat Khadafy.

"Gak ada yang harus dijelasin, lo udah tahu semuanya," ucap Rava dengan wajah datar, membuat emosi Senja semakin memuncak.

"Kenapa ngga ada yang bilang tentang masalah ini, kenapa orang-orang pergi, Va? Kenapa mereka ngga biarin aku tahu tentang masalah ini?" tanya Senja penuh penekanan, meskipun tenggorokannya seperti tercekik.

"Seperti yang lo lihat, lo udah denger penjelasan dari dokter juga, semuanya udah jelas. Lagipula lo gak punya hubungan apapun sama Khadafy sebelumnya," balas Rava dengan suara dingin. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana sebelum akhirnya berbalik untuk meninggalkan Senja.

Senja tidak bisa menangkal. Benar, semuanya benar. Dirinya bukanlah siapa-siapa Khadafy, buat apa dirinya peduli. Semuanya tidak adil, ketika Khadafy mengetahui semua tentangnya, namun dirinya tidak mengetahui apapun dari Khadafy.

Isak tangisnya kini diselingi suara dengusan kasar dari Rava yang belum jauh. Cowok itu membalikkan badannya sebelum akhirnya berjalan ke arah Senja. Tanpa aba-aba, tangan Rava terangkat untuk mengusap puncak kepala Senja dengan lembut.

Gerakan itu berhasil membuat Senja mendongak, menatap Rava dengan mata sembab yang sudah memerah dan bengkak.

"Gue gak pernah ingkar janji sama seseorang sebelumnya. Khadafy udah kasih gue perintah dan gue gak mungkin buat langgar itu," ucapnya, kemudian menaruh tangannya kembali ke saku celananya.

"Khadafy bener-bener sayang sama lo, buktinya dia gak mau bikin lo khawatir sama dia. Itulah kenapa lo gak tau apapun tentang dia. Lo yang pertama, orang yang berhasil membuat Khadafy jatuh sedalam itu, dan gue harap lo cinta sama dia bukan cuma karena perasaan nyaman dan pengen dilindungi. Tapi karena lo bener-bener bisa nemenin dia, jadi gadis satu-satunya yang bisa dia sayang," jelas Rava panjang lebar.

"Cuma itu yang bisa gue ucapin. Gue pamit. Jaga Khadafy, Senja."

Senja melepaskan kacamatanya sejenak, tatapannya kosong menatap kepergian Rava. Ia menghela napas panjang, suaranya menggema di lorong rumah sakit yang sunyi, seakan menggambarkan beban berat yang menghimpit hatinya.

Dengan langkah tertatih, tubuhnya bergerak menuju ruangan tempat Khadafy dirawat. Setelah pemuda itu ditangani, dokter memberikan kabar yang memukul batinnya tanpa ampun. Penyakit yang selama ini tersembunyi, menggerogoti tubuh Khadafy tanpa ampun, tak pernah terlintas di benaknya akan kehadiran penyakit itu.

Ironisnya, Senja baru mengetahui kenyataan pahit itu di saat-saat terakhir.

"Khadafy tidak menjalani kemoterapi dengan benar bulan ini, itu membuat kondisinya memburuk," kata-kata dokter itu terus terngiang di kepala Senja, menghantamnya tanpa henti. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, terduduk lemas di samping pintu masuk ruangan Khadafy, seolah kekuatannya telah lenyap.

Kesunyian yang mencekam, hanya diisi oleh bayangan suara Khadafy yang masih terngiang di telinganya, menambah derita yang tak tertahankan.

"Ayo, aku anter pulang."

"Aman, aku ngga gampang sakit. Asal kamu pulang dan ngga sakit, itu udah lebih dari cukup buat aku.

"Aku cowok, cowok itu kuat."

Hai, Senja [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang