6 - terungkap segalanya

109 71 106
                                    

happy reading!



"Kenapa lo?" Tanya sesosok manusia yang bersandar di ambang pintu, yang sialnya adalah teman Khadafy. Karel Gavileo

"Buta lo, mata lo?!" Pekik Khadafy yang duduk di dashboard single bed nya, sudah jelas tangannya patah karena kecelakaan kemarin, jika saja tidak ada Rava yang menolongnya, mungkin Khadafy masih disana sampai sekarang.

Rava, si playboy jurusan seni itu adalah manusia yang menolong Khadafy disaat cowok itu tergeletak tidak berdaya diaspal. Kini menatap siku Khadafy dengan iba, siku itu di balut sebuah perban dan terkulai lemas di samping tubuh Khadafy. Namun dengan tidak tau dirinya Rava malah memukul siku itu membuat Khadafy memekik.

"MANUSIA TOLOL!!" Teriak Khadafy membuat Karel memejamkan mata, kaget. Cowok yang sedang patah tangannya itu berusaha memukul Rava dengan tangan yang lain, namun Rava dengan cepat menghindar.

"DAFY! JANGAN TERIAK TERIAK!" Suara Ibu kost yang berjalan didepan lorong kost terdengar, Khadafy hanya bisa mengatupkan bibirnya sambil meringis. Siku nya terasa begitu ngilu.

"Kenapa?" Tanya Karel lagi, kali ini cowok itu yang masih berdiri, bersandar di ambang pintu kamar kost Khadafy. Khadafy menatap heran pada Karel, raut wajah cowok itu menampilkan kecemasan yang mendalam, dengan gengsi luar biasa pula ia bertanya.

Ya, memang begitulah seorang Karel Gavileo. Dingin, gengsi luar biasa, perintahnya mutlak, dan manja ketika bersama orang tertentu.

"Ada anak kucing di tengah jalan." Balas Khadafy dengan suara yang lebih pelan, "Cuma gores dikit."

"Patah." Koreksi Rava yang sedari tadi duduk disamping Khadafy. Kenapa pula cowok itu mengoreksi, niat hati Khadafy itu tidak ingin membuat Karel khawatir.

Karel terlihat menghela nafas berat, ia melirik ke ujung kasur Khadafy, ada seekor anak kucing dengan 3 warna yang duduk diam diatas kardus sepatu, wajahnya polos seakan tidak terjadi apa-apa, Karel menggeram dalam hati, dasar kucing tak kenal budi.

"Lo bisa rawat?" Tanya Karel pada akhirnya sambil duduk di samping kasur Khadafy, bersama Rava.

"Iya, Fy. Lo kan kere, yang ada tuh kucing kabur gegara gak lo kasih nafkah," celetuk Rava seolah dirinya benar. Khadafy melotot menatap pria itu, berusaha memukul kepala nya lagi, namun lagi-lagi Rava menghindar dengan cepat.

"Rel, tolong ada om om ngamok!" Rava beralih menarik lengan Karel untuk melindunginya dari serangan Khadafy, Karel hanya menghela nafas panjang sambil melepas tangannya dari pegangan Rava. Ia beralih mengusap lengannya seolah ada debu disana.

Rava yang melihat itu sontak merengut, "Lo kira gue kuman?!" Pekiknya tidak terima.

"Lo bau neraka, gausah deket deket." Balas Karel cuek, Khadafy memutar bola matanya malas, dua orang ini memang tidak akan pernah akur, melupakan fakta kalau dia dan Karel juga sering bertengkar. Tapi ... tunggu, Khadafy terdiam.

Kepala nya kembali pusing, namun suara Rava yang gencar menggoda Karel masih terputar di kepala nya, suara suara itu berdenging.

Khadafy meremas sprei nya, ia tidak ingin membuat Karel maupun Rava khawatir, jadi dengan susah payah dirinya tidak menunjukkan ekspresi kesakitan. Khadafy, ingin meminta tolong, namun dirinya takut merepotkan, tidak usah, ini pasti akan segera berakhir.

Mari ber-possitive thinking.

"Woy Patung, lo udah punya cewek?" Tanya Khadafy yang berusaha mengalihkan pertengkaran kedua nya. Karel menoleh sejenak, senyumnya penuh arti membalas Khadafy.

"Gue selangkah lebih maju dari lo." Gumam Karel bangga, ia tersenyum remeh melihat Khadafy yang mencebik kesal, bahkan Khadafy masih pada tahap pertama, mau dibilang dengan Senja juga sebenarnya tidak, hanya dekat secara kebetulan saja.

Hai, Senja [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang