happy reading.
"Fy, Mas Dio marah-marah nih gara-gara kita gak dateng ngajar kemarin," ucap Rava saat mereka sedang duduk lesehan di studio. Mereka telah latihan satu putaran hari ini, dan studio masih dipenuhi keenam anggota band Khadafy.
"Yaudah, besok kita ngajar," ujar Khadafy sembari bersandar pada tembok studio yang dingin, kepala nya pusing sekali, tubuhnya juga lemas, efek overworking.
"Besok kita gladi kotor, jangan ngadi ngadi deh lu," balas Rava sembari menepuk main-main kaki Khadafy yang terkulai lemas didepannya. Rava sebenarnya iba melihat wajah pucat Khadafy, tapi dengan adanya komunitas ini, dirinya dapat uang, kalau di tendang keluar, dapet uang darimana coba.
"Nanti gue temuin Mas Dio, gue bicara sama dia," balas Khadafy pada akhirnya, mata cowok itu terpejam, hendak tidur dengan posisi duduk.
Rava menghela nafas, Khadafy sering mengeluh sakit saat mereka berada di kelas, biasanya ketua kelasnya itu akan fokus dalam mengurus kelas dan mengikuti kelas, namun akhir-akhir ini Khadafy menjadi lemas, tidak bertenaga, letoy dan sering tertidur di kelas.
"Hujan lagi hari ini, saya mau pulang duluan, kalian jangan hujan-hujanan kalau gak mau sakit," ujar Harsa sembari mengeluarkan kunci motornya, tubuhnya dibalut jaket jeans yang sangat pas di tubuhnya.
Rava memberi gestur agar Harsa diam, Khadafy tertidur. Harsa mengangguk, beralih memberi gestur ingin pulang, Rava hanya mengangguk. Akhirnya Harsa dan Arseno pulang duluan, dua orang itu memang selalu berangkat dan pulang bersama.
Senja beralih memperhatikan Khadafy setelah pintu studio kembali tertutup. Tidurnya nyenyak sekali, kepala nya tertunduk lemah dan tangannya terlipat lemas diatas perutnya. Khadafy sudah bekerja keras.
Rava pun kini lebih fokus pada ponselnya, didalam studio ini hanya tersisa Senja, Khadafy, Karel dan Rava. Senja yang kebetulan duduk di samping Khadafy itu kini sedikit menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Khadafy.
"Gue balik." Karel menegakkan tubuhnya tanpa menunggu balasan dari Rava, namun Rava ikut berdiri seperti hendak pulang juga.
"Khadafy jangan dibangunin, ya, tapi kalau mau pulang, lu bangunin aja, gapapa," ujar Rava kepada Senja yang hanya diam sembari mengangguk mengerti. Rava melambaikan tangannya perlahan sebelum keluar dari studio.
Pintu studio yang terbuka sepenuhnya membuat Senja tahu bahwa hujan angin akan segera datang, lebih baik Senja disini saja, daripada di terjang oleh hujan. Ayahnya juga tidak mungkin menjemputnya saat hendak hujan.
Maka, Senja akan menemani Khadafy sekarang.
'bruk!
Tangan Senja yang hendak menghubungi Ayahnya seketika membeku. Kepala Khadafy terkulai lemas, di bahu nya.
Bahu nya berat sekali, kepala Khadafy benar-benar lemas dan panas, cowok itu sepertinya sedang sakit, mungkin karena overworking.
Namun anehnya, Senja tidak menolak. Mungkin jika Khadafy adalah Rava, Senja sudah menendangnya. Namun ini Khadafy, cowok yang selalu membantunya, dan membuatnya giat berangkat ke studio menjelang musical showcase.
Khadafy adalah cowok baik, Senja simpulkan seperti itu.
Biasanya orang yang sedang sakit, nafasnya akan semakin memburu, namun kenapa nafas Khadafy pendek sekali. Jujur saja, Senja khawatir, namun dirinya juga tidak tega membangunkannya.
Biarlah seperti ini, Senja biarkan khadafy bersandar pada bahunya.
'sret! bruk!
"Eh, Khadafy!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Senja [ END ]
Teen Fiction"Hidup itu seperti perjalanan naik motor," "Kadang jalannya mulus, kadang juga berlubang, atau dipenuhi polisi tidur," "Tapi selama kita bersama, menghadapi segalanya bersama, semuanya akan baik-baik saja." Khadafy selalu terpesona oleh Senja. Hingg...