15 - saling menyembuhkan

75 58 93
                                    

happy reading!







Seminggu berlalu dengan begitu lama, Khadafy terdiam di kamar kost nya yang sepi, Rakza belum pulang bekerja jadi jangan heran kalau kamar kostnya begitu sepi. Namun kesepian itu justru membuat Khadafy lebih fokus dari biasanya, kertas nya berceceran dimana-mana, hasil potongan, spidol bewarna dan alat tulis lainnya berserakan dikamar nya.

Suara motor besar yang begitu khas terdengar dari kamar kostnya, pasti itu Rava.

"Mau bikin kado buat siapa, sih?" Tanya cowok itu yang datang sambil membawa sebuah kertas kado bewarna coklat polos. Tadi Khadafy meminta tolong pada cowok itu untuk datang dan membelikan kertas kado coklat polos.

"Buat siapa lagi emangnya?" Khadafy melempar kembali pertanyaan itu kepada Rava. Namun, Rava justru terkesima dengan kegiatan Khadafy pada saat ini, persis seperti mahasiswa fakultas seni yang mengerjakan tugas praktek kerajinan.

"Lu mau confess?" Tanya Rava hati-hati yang kemudian duduk disamping cowok yang terlihat sibuk dengan kertas origami nya itu.

"Kalau ngga segera ya kapan lagi," balas Khadafy yang sejenak menghentikan pekerjaan dan menatap Rava yang terlihat begitu murung, tidak seperti biasanya yang sangat ramai dan ceria. Ada yang berbeda dengan cowok itu.

"Ada banyak kejadian yang gue lewatin ya? Lo gak mau cerita?" Tanya Khadafy yang merubah suasana kamar kost itu menjadi sedikit lebih serius.

"Karel udah tahu tentang penyakit lo, dan ada banyak lagi yang gak bisa gue jelasin satu persatu, panjang soalnya," balas Rava yang dengan ogah-ogahan bercerita, seperti bukan Rava saja.

"Pendek in aja, di ringkas, ngga usah detail detail amat," balas Khadafy. Kini dua anak adam itu tertidur dengan kasur lipat Khadafy yang menjadi bantalan.

"Nara di culik, dan saat gue sama Alvaro nyelametin dia, gue keinget adek gue, setelah itu entah kenapa gue ngerasa gagal buat deketin Flavio, jadi gue curhat ke Babeh, dan Babeh malah dukung gue buat nyerah, dia bilang kalau bukan takdir, buat apa dikejar mati-matian, akhirnya gue juga yang sakit sendiri," jelas Rava sebisa mungkin agar Khadafy bisa memahami penjelasannya.

Khadafy menghela nafas, ternyata Tuhan itu adil, buktinya bukan hanya dirinya yang merasa kesulitan dalam hal percintaan. Manusia buaya sejenis Rava saja bisa merasa kesulitan juga.

"Lo tahu, gue gak punya sesuatu yang spesial buat dikasih ke Senja, gue cuma manusia biasa, Va. Tapi waktu itu, Pak Gigi bilang sama gue ...-" jelas Khadafy sambil menatap langit langit kamarnya yang begitu terang di hari ini. Hari sudah mulai gelap, sebentar lagi pasti Rakza akan pulang membawakan makan malam untuk Khadafy.

"Dosen biologi itu? Jauh banget main lo," celetuk Rava menyadari bahwa dirinya juga kenal dengan Pak Gigi yang dimaksud oleh Khadafy.

"Itu perjuangan gue selama ini," ujar Khadafy, suaranya penuh makna. "Beliau mengajarkan gue banyak hal dalam beberapa kalimat. Dari situ, gue belajar satu hal penting, yaitu kita harus membuat gadis nyaman dengan kita, bukan memaksa mereka menerima sisi baik dan buruk kita."

Rava mendengarkan dengan seksama. Dia terkekeh, menutup kepalanya dengan jaket untuk menyembunyikan kelemahan yang dirasakannya saat mengenang masa lalu yang kejam bersama keluarganya.

Khadafy menegakkan tubuh, lalu perlahan menarik jaket yang menutupi kepala Rava, memperlihatkan wajah cowok buaya itu yang merah dan juga rambut kusut yang setengah basah.

"Selama ini lo kuat nyembunyiin penyakit lo, Panglima Rava," kata Khadafy dengan gaya jenaka yang begitu menyedihkan dimata Rava.

Rava ikut menegakkan tubuhnya, menggunakan jaketnya untuk mengusap matanya yang berair, usapan kasar itu membuat matanya semakin memerah. Namun Khadafy justru terkekeh melihat wajah Rava yang seperti anak kecil, persis seperti Karel ketika merengek di pelukan Bunda nya dahulu.

Hai, Senja [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang