~Selamat Membaca~
"Itu tidak mungkin! The Lord Of The Darkness hanyalah mitos!!"
"Benarkah? Kamu sudah melihat sendiri bagaimana putramu membunuhku dengan senjatanya."
"Apakah kamu tidak melihatnya?" Tanya Rayn sambil menunjukkan perutnya yang penuh darah.
Alexander terdiam menatap Rayna, ia tidak pernah menyangka semuanya akan menjadi seperti ini. The Lord Of The Darkness bukanlah manusia biasa, ia bisa melakukan apapun hanya untuk menyelamatkan apapun yang dimilikinya. The Lord Of The Darkness bukanlah mitos lagi melainkan nyata adanya. Hanya dua orang yang bisa bangkit dari kematian yang sebenarnya yaitu The Lord Of The Darkness dan The Lord Of The Death.
"Aku sudah memperingatkanmu, Steve. Kamu memang berhasil membunuh Aurora Rayna Danendra sebagai pemimpin Golden Rose tapi kamu nggak akan pernah bisa membunuhku sebagai The Lord Of The Darkness. Kamu membangkitkan jati diriku yang sebenarnya, Steve."
"Kamu harus menerima konsekuensinya." Rayn tersenyum smirk sambil menatap Steve, kedua iris matanya berubah menjadi merah darah. Tangannya terkepal hingga semua urat-urat leher Rayn terlihat.
Alexander yang melihat secara langsung perubahan drastis penampilan Rayn langsung ketakutan. Ia seperti melihat malaikat mautnya secara langsung yang siap membunuh dirinya.
Matanya menatap pada Baron yang ikut bersamanya untuk membalaskan dendam. Baron dan keluarganya memang bekerja sama dengan Fire Phoenix untuk membunuh Rayn.
"Jika kamu membunuh saya, saya akan membunuh ayah kamu!" Rayn tertawa terbahak-bahak dengan ancaman Alexander yang terdengar menggelikan di telinganya.
"Aku tidak memiliki seorang ayah, Alexander. Aku hanya memiliki seorang ibu yang tidak lain tidak bukan adalah Calisha. Aku tidak pernah memiliki sebuah keluarga."
"Tujuanku hidup adalah untuk membalaskan dendam padanya!"
"Jika kamu ingin membunuhnya, bunuh saja dia!"
"Tidak!! Rayn, maafkan kami....Kami sudah melakukan banyak kesalahan, tolong biarkan ayah kamu hidup!" Rayn menatap datar Alfana, rasa empati di hatinya sudah lenyap bersamaan dengan gugurnya pemimpin Golden Rose. Kini yang ia tau hanyalah balas dendam.
"Aku tidak pernah menyalahkanmu, Alfana. Kamu juga korban dari suamimu, tapi aku masih mengingatnya dengan jelas bagaimana kamu menghina ibuku. Kamu menghina orang yang menyelamatkan mu, kamu menghinanya!"
"Maafkan aku, Rayna!!"
"Diam disana, Cashel! Atau ibumu akan mati!" Ancam Rayn pada Cashel ketika ia melihat Cashel ingin menaikkan pistolnya pada Rayn.
Rayn membungkuk dan menarik tubuh Alfana yang bersujud di hadapannya. Meskipun ia membencinya tapi hatinya masih tidak tega melihat seorang ibu yang melakukan apapun itu hanya untuk keselamatan anaknya begitu juga dengan suaminya.
"Bawa dia!" Pinta Rayn pada anggotanya.
"Lepasin ibu gue anjing!!"
"Dia akan baik-baik aja, Cashel. Aku masih memiliki hati tidak seperti dirimu."
Rayn kembali memusatkan perhatiannya pada Alexander yang masih menyandera Baron. Ia melangkahkan kakinya lebih dekat dengan mereka. Rayn membungkukkan badannya agar sejajar dengan Baron.
Tangannya terangkat untuk mengusap pipi Baron, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. "
Rayn tersenyum tipis pada Baron gemetar karena ketakutan. "Kamu sudah membunuhku, Alexander. Jika anakmu disini dan menyaksikan semuanya pasti dia akan kecewa padamu. Dia benar-benar membenci seorang psychopath."
"Sayangnya dia sudah mati, Rayn. Dia juga harus tau kalau ayahnya datang untuk membelanya."
"Benarkah? Padahal kamu belum menemukan jasadnya."
Steve terkejut mendengar ucapan Rayn. Ia menatap ayahnya dengan wajah kebingungan. Padahal Alexander sendiri yang mengatakan padanya bahwa dialah yang mengubur jasad Jessica dengan tangannya sendiri.
"Apakah kamu mempercayainya, Steve?!"
"Pembohong tidak akan berani berbicara dengan bukti." Rayn menjentikkan jarinya, dua anggota Rayn membawa seorang gadis yang duduk di kursi roda dengan keadaan tidak berdaya.
"Jessi?" Dengan berhati-hati, Alexander menghampiri anaknya yang kini sedang duduk di kursi roda dengan diam. Bahkan, ketika melihat ayahnya ia tidak menunjukkan raut bahagianya sama sekali.
"Nak....kamu masih hidup." Rayn hanya berdiri di belakang kursi roda Jessi dengan diam. Sebenarnya ia tidak tega melihat Alexander yang sepertinya begitu menyayangi Jessica. Tapi apa boleh perbuat, Alexander harus dihukum atas kejahatannya begitu juga dengan Jessica.
"Rayn, bawa gue pergi!" Alexander menatap bingung anaknya. Bisa-bisanya Jessica memperlakukannya seperti itu. Padahal dirinya sudah melakukan banyak hal untuk Jessica, tapi sepertinya Jessica lebih nyaman berada di tempat Rayn.
"Maksud kamu, nak?"
"Bawa gue pergi dengan tangan lo sendiri, Rayna!" Rayn tersenyum manis pada Alexander yang kini memasang wajah murung karena perlakuan Jessica padanya.
Tangan Rayn terangkat untuk memegang handle nya. Ia menariknya perlahan untuk membawa Jessica pergi dari sini. Tanpa sepengetahuan Rayn, Alexander sudah menyiapkan sesuatu yang tidak terduga untuk membalaskan semuanya.
"RAYNA!!"
Rayna dengan refleks menoleh ke belakang dan melihat Berlina yang sudah tidak berdaya dengan darah yang mengalir dari perutnya. Matanya menatap seseorang yang menjadi dalang semuanya. Lagi dan lagi, sosok yang sama.
Steve Maven Hubert
"Berlin..."
"R-ray-nn...m-maa-ffin gu-eh, g-gu-e s-say-yangh s-sam-ma l-lo." Air mata Rayn keluar dengan deras membasahi pipinya. Ia tidak pernah menyangka jika ia akan kehilangan seseorang lagi dengan secepat ini. Ia mengangkat tangannya sendiri dengan gemetar untuk mengusap rambut Berlina. Baginya, Berlina adalah segalanya. Ia sudah bersamanya sejak belasan tahun yang lalu dan ia tumbuh bersama dengannya.
"Kamu akan membayarnya, Steve."
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Third Generation
Mystery / Thriller-SEQUEL OF CALISHA- Aku adalah keduanya, baik malaikat maupun iblis. Kegelapan tidak membuatku ketakutan, begitupun cahaya tidak membuatku tenang. Bahkan malam yang mencekam pun tidak membuatku ketakutan, karena apa? Sejatinya diriku memanglah kegel...