Chapter 27

139 5 0
                                    

~Selamat Membaca~

Rayn mengambil pisau kecil yang menancap di dada Berlina. Pisau inilah yang membuat Berlina kehilangan nyawa. Rayn menatap pisau itu dengan tatapan menelisik. Ia tersenyum miring ketika matanya tidak sengaja melihat sesuatu yang menempel di pisau itu.

"Ada yang ingin jujur padaku?" Tanyanya sambil melirik Steve dengan senyuman mematikan.

Rayn kembali melangkahkan kakinya menuju Jessica yang duduk diam di atas kursi roda melihat semuanya. Ia menundukkan dirinya agar sejajar dengan Jessica. Rayn mengusap pipi Jessica dengan pisau yang ia bawa tadi. Darah Berlina yang masih membekas di pisau itu menempel di pipi Jessica dan membentuk seperti sayatan.

"Steve Maven, lelaki yang dulu kamu ceritakan pada ku. Kamu begitu bangga memiliki kakak seperti dia, iya kan?"

Jessica hanya diam sambil menatap ke depan, kedua matanya sudah berlinang air mata. Kapan pun air mata itu bisa jatuh jika Jessica tidak bisa menahannya.

"Seharusnya dia pantas mendapatkan kebanggaan itu. Tapi kenyataannya nggak, pengkhianat lebih buruk dari pembunuh."

"Kamu tau kenapa? Dia mengkhianati ibunya sendiri, ibu yang membesarkan dia. Calisha Rayana Danendra, dia yang membesarkan kakakmu."

"Aku membenci seorang pengkhianat." Lagi lagi Jessica hanya diam membisu sambil menatap ke depan. Tatapannya terlihat sangat kosong, entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Raut wajah Jessica sangat terlihat begitu jelas bahwa dia pasrah dengan semuanya termasuk kematiannya.

"Bawa dia masuk!!"

"Jangan!! Jessica adalah anak saya!" Tegas Alexander.

Rayn tersenyum tipis, "Dia tidak pernah mengakui dirimu, Alexander."

"BANGSAT! SERANG DIA!"

Rayn memundurkan langkahnya dengan perlahan, namun matanya masih saling bertatapan dengan Steve. Masing-masing dari mereka saling menyalurkan pikirannya melalui matanya. Ada perasaan yang ingin mereka ungkapkan tapi mustahil dilakukan.

"Steve...aku mencintaimu. Tapi, hatiku dan pikiranku berbeda. Seorang The Lord Of The Darkness tidak akan pernah mempercayai hatinya, dia tidak boleh termakan dengan tipu dayanya. Aku akan selalu mencintaimu, Steve."

"Mungkin kita belum banyak mengukir cerita, tapi kita sudah melalui banyak hal dalam waktu singkat." Rayn tersenyum tipis pada Steve, kedua air matanya turun. Dengan cepat Rayn mengusap kedua pipinya, ia meraih pedang yang ia simpan di balik jubahnya dengan mata yang masih menatap pada Steve.

"Kita akan selalu bersama, Steve." Lirih Rayn, setelah itu ia berbalik dan membelakangi Steve yang masih menatap Rayn dari jauh.

"Gue bisa bunuh bokap gue untuk lo tapi gue lebih memilih bunuh lo untuk diri gue sendiri, Rayn. Seharusnya gue yang dapetin Golden Rose, bukan lo."

Disisi lain, Arion menyaksikan semuanya. Ia mendengar semua ucapan Rayna tentang perasaannya pada Steve. Entahlah hatinya sedikit sakit ketika mendengar bahwa Rayna mencintai orang lain. Meskipun dirinya sekarang masih bersama dengan Dara, tapi perasaan itu lama-lama akan kian memudar. Perasaannya dengan Dara bukanlah murni karena Arion benar-benar mencintai melainkan obsesi.

Ia sudah lama terikat dengan Rayn, akan tetapi takdir harus membuat kita seakan-akan tidak akan pernah terikat. Arion adalah The Lord Of The Death, dan Rayna adalah The Lord Of The Darkness. Mereka berdua sudah terikat sejak dahulu, namun mereka harus merahasiakan identitas mereka karena suatu hal. Membuat dunia seolah-olah melihatnya seperti air dan api, yang tidak akan pernah bersama.

Tapi, kenyataannya semua itu salah. Rayn dan Arion akan terikat selamanya meskipun mereka tidak memiliki hubungan.

Kini Rayn sedang bertarung melawan anggota Fire Phoenix yang tidak ada habisnya. Ia sudah melumpuhkan ratusan jiwa tapi setiap menitnya anggota Fire Phoenix semakin bertambah. Entah berapa orang yang Alexander bawa kemari.

Bugh

Bugh

Dor

Dor

"Rayna...Rayna...." Rayna menghentikan kegiatannya, ia berbalik dan melihat Cashel yang sudah berdiri di belakangnya sambil membawa pistol.

"Lo nggak capek apa hidup?"

Rayn menyuruh anggotanya untuk menangani anggota Fire Phoenix yang tadinya ia tangani. Rayn memasukkan pistol beserta pedangnya ke dalam jubahnya. Ia menyeringai di dalam maskernya sambil menatap Cashel.

"Seharusnya aku yang tanya sama kamu, kamu nggak capek dijadiin boneka sama Baron?"

Cashel terdiam sesaat, "Ayah ngelakuin semua itu untuk keluarganya."

"Dan aku melakukan semuanya untuk ibuku." Rayn mengeluarkan pedangnya dan menodongkannya tepat di depan wajah Cashel.

Cashel memundurkan langkahnya perlahan sambil bersiap menarik pelatuk pistol yang ia bawa. Rayn menyeringai kecil menyadari Cashel yang sudah siap untuk menembaknya dengan pistol.

"Pistol mu tidak akan berguna bagiku, Cashel."

"Kamu sudah tau kan?" Cashel tetap menodongkan pistolnya pada Rayn meskipun ia sudah tau konsekuensinya.

Rayn mendekati Cashel dan mengambil pistolnya dengan mudah. Ia mematahkan pistol Cashel dan membuangnya begitu saja. Matanya menatap tajam Cashel, ia sebenarnya sudah muak dengan Cashel dan kedua orang tuanya. Tapi, Rayn ingin mendengar permintaan maaf dari Baron dan Cashel.

"Seharusnya lo cari lawan yang seimbang, Rayn." Ujar Steve.

Dor

"Kamu membuat kesalahan besar."

Rayn mengeluarkan pedangnya, begitu juga dengan Steve. Rayn tersenyum miring melihat pedang Steve, ia akan mengakhirinya sekarang juga. Meskipun ia harus membunuh lelaki yang ia cintai.

Ting

Bugh

Dugh

"Akhh!" Ringis Steve, lengannya berhasil terkena pedang milik Rayn.

"Itu hanya sebuah sayatan kecil."

"Itu tidak sebanding dengan apa yang kamu perbuat padaku."

"Kamu tau? Aku tidak suka berhutang dengan siapapun."

"Akan aku tunjukkan padamu bagaimana kematian itu!"

Jleb

Jleb

Rayn tersenyum tipis ketika darah milik Steve mengenai wajahnya. Ia menghela napasnya panjang karena ia telah berhasil membunuh Steve. Hatinya sebenarnya tidak menginginkan semua ini terjadi tapi ia harus melakukannya. Ia harus membunuh lelaki yang ia cintai demi Golden Rose.

"Ini belum selesai, Rayn."

-----

Third GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang