"Benar ya, kalau kita sudah mengusahakan yang terbaik dan berpasrah pada-Nya. Akan ada masa dimana kita merasakan kebahagiaan yang tak pernah kita duga."
~Syifatunnisa Az-Zahra~💐💐💐
Rasanya masih tak nyata. Ning Syifa merasa momen ini terasa cepat. Seperti baru kemarin Khalid sowan ke ndalem, melamarnya dan mendiskusikan mengenai bagaimana konsep pernikahannya. Ah, dan satu kata yang membuat Ning Syifa tersadar bahwa memang sebelumnya Khalid sempat berdiskusi dengan Abi-nya untuk mempercepat acara pernikahan.
Gaun pernikahan putih lengkap dengan hijab syar'i dan cadar yang Ning Syifa kenakan terlihat pas dan cantik. Saat ini perempuan itu duduk ditepi kasur ditemani oleh Sang Umi. Dalam diam, lewat pantulan kaca rias Ning Syifa melantunkan shalawat dalam hati untuk sekadar menenangkan hatinya yang berdebar hebat.
Sebelah tangan Ning Syifa tiba-tiba digenggam. Membuat perempuan itu menoleh kepada uminya yang saat ini sedang tersenyum. "Umi...," panggil Ning Syifa dengan nada pelan.
Nyai Farah tersenyum. Tangannya setia mengelus pelan punggung tangan anaknya. "Nak, kamu ingatkan perkataan umi."
Ning Syifa mengangguk. "Ingat Umi."
"Coba Umi mau dengar, Nduk."
"Umi selalu berpesan bahwa jika Ifa menikah nanti harus patuh dengan perintah suami selagi apa yang suami perintahkan adalah kebaikan, umi juga selalu mewanti-wanti Ifa untuk mengusahakan menjaga pernikahan ini hingga akhir hayat karena ketika nanti sudah menikah pasti akan ada banyak cobaan yang menerpa. Yah, sejatinya setan tak menyukai hubungan halal seperti ini."
Nyai Farah mengusap pundak sang putri sayang. "Kamu satu-satunya anak umi, Nduk. Jangan kecewakan umi."
"Iya, Umi."
Suara riuh dari ruang tamu ndalem membuat Ning Syifa terus melantunkan shalawat untuk menenangkan hati. Apalalagi ketika sang Abi mulai mengucapkan ijab.
"Qabiltu nikahaha watajwijaha alal mahril mazkur haalan."
Kala mendengar suara Khalid yang mengucapkan qabul dengan lancar dengan satu kali tarikan nafas tanpa kesalahan membuat Ning Syifa mengucapkan syukur. Jauh didalam hati perempuan itu merasa lega.
"Ayo, Nduk keluar."
Ning Syifa mengangguk sembari memeluk lengan Nyai parah lantas mengikuti langkah umi-nya menuju ruang tamu ndalem. Begitu sampai, perempuan itu langsung duduk di samping Khalid yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya.
"Permisi ya, Ning," kata Khalid begitu perempuan itu menengok.
"Silakan, Gus," jawab Ning Syifa pelan.
Padahal Khalid sudah sah menjadi suaminya. Ning Syifa tetap merasa kagum dengan bagaimana laki-laki itu seakan meminta izin untuk menyentuh puncak kepalanya. Perempuan itu tahu, Khalid hendak mendoakannya. Perlakuan sederhana seperti itu saja sudah cukup membuat Ning Syifa tahu bahwa Khalid adalah laki-laki yang menjaga.
Setelah mendapat persetujuan. Khalid menyentuh puncak kepala istrinya. "Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."
Setelah itu, doa lainnya Sang Abi teralun. Ning Syifa dan Khalid dalam diam mengaminkan doa tersebut. Momen seperti ini terasa seperti mimpi bagi Ning Syifa. Menikah karena cinta saja mungkin sudah biasa. Tapi, menikah karena cinta dan jawaban doa bukankah luar biasa. Ya, meski Ning Syifa tak tahu bagaimana perasaan Khalid yang sesungguhnya.
Acara berlanjut pada tanda tangan buku nikah, lalu sesi yang paling mengharukan adalah ketika acara sungkeman. Belum juga seucap kata terucap dari bibir kedua orang tuanya. Air mata Ning Syifa sudah lebih dulu mengalir.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSPEKTASI RASA [TAMAT]
RomansaBagaimana jadinya ketika Gus Khalid harus memilih antara dua perempuan? Antara Ning Syifa atau Ustadzah Shafira? Khalid benar-benar berada dititik bimbang yang sesungguhnya. Siapakah yang harus Khalid pilih? Memilih Ning Syifa berarti harus merelaka...