-¦- -¦- -¦- 33 -¦- -¦- -¦-

12 2 0
                                    

Bagi Dewa menggeluti boxing bukan hanya sebagai hobi ataupun olahraga. Menurutnya olahraga ini cukup simpel, dia bisa melakukannya di rumah. Walaupun memang otodidak dan mungkin saja banyak gerakannya tidak sesuai sebagaimana harusnya. Selagi dia senang dan melakukannya dengan senang hati, rasanya seru. Kalau di ingat pertama kali dia memulai ini semua saat sekolah menengah. Waktu itu dia sempat menjadi korban bully anak laki-laki yang iri dengan ketampanannya. Tidak mau kalah, dia belajar sendiri. Bangkit melawan mereka. Sejak saat itu dia sadar, boxing cukup menyenangkan.

Hal lainnya, bisa membuang pikiran kacaunya. Semua rasa kesal, rasa sedih juga rasa yang aneh bisa dia lampiaskan pada samsak.

Samsak bergerak brutal saat Dewa melayangkan pukulan terakhirnya dengan keras. Kalau sadar sepertinya debu yang menempel di benda besar itu sampai terlepas. Dia tidak berhenti sampai di situ terus memukuli dengan berbagai macam gaya. Dengan cepat, bertubi-tubi, memukul kanan dan kiri membayangkan memukul pinggang lawan, menendang seperti mengenai kepala lawan juga pukulan dagu yang terakhir kali dia lihat malam itu.

"Kita bakalan rahasiain identitas lo dari anak 08. Tapi lo harus ada di pihak kita."

Dewa memukul lagi, barusan itu rasa kesalnya. Kesal cowok bernama Iksan itu bersikap semaunya sendiri. Mengancamnya dengan pilihan yang jelas tidak menguntungkan untuknya. Sudah jelas sejak awal dia tidak mau ikut campur tentang masalah dua sekolah tapi akhir-akhir ini sepertinya dia menyadari keterlibatannya dengan keributan 07 dan 08 semakin terikat. Dia sudah dengar soal sebutan pemberontak di sekolah 08 dari Jarot, tidak terlalu jelas tapi mereka adalah orang yang menentang keras peraturan pentolan 08. Dan dia yakin, Iksan, Abim dan Gema adalah contoh terburuknya.

"Balapan sama gue, taruhannya tempat balap lo ini!"

Dan selanjutnya, rasa marahnya. Ingatannya saat Abim memukul Fio sampai K.O dalam sekali pukul saja membuat emosinya makin naik. Semakin brutal dia memukul samsak berharap emosinya terlampiaskan dengan baik. Bertanya-tanya jika mereka adu pukul siapa yang akan menang?

"Kenapa dari sekian banyaknya orang cuman lo doang yang sensi banget?"

"Lo suka sama gue?"

Dewa memekik kesal. Pukulan terakhirnya meleset, rasa aneh ini tidak bisa dia lampiaskan. Giginya gemertak keras, tangannya juga mengepal kencang. Samsak di depannya bergoyang, napasnya berat bersama keringatnya yang menetes ke lantai. Kesal dia memukul udara, menyerang kesetanan. "Iya, iya! Gue suka, puas lo! Dasar cewek gila! Aaghht! Bangsat emang!"

Dia ngos-ngosan, matanya melirik pada botol minum di atas meja. Dia meraihnya cepat, meneguk setengahnya dengan emosi. "Gue yang nolongin dia. Gue yang jadi berurusan sama pentolan sekolah sok berkuasa itu. Gue juga yang jadi target anak 08. Harusnya dia yang suka sama gue karena gue udah berkorban buat dia. Kenapa gue yang jadi suka sama dia?!" Dewa menghela napas, dia menukar botol minumnya dengan handuk. Menyeka seluruh keringatnya. Itu juga dengan kesal. "Aghht, kenapa dari sekian banyaknya cewek. Kenapa harus dia?"

Pertanyaan itu membuat Dewa diam. Kepalanya tampaknya otomatis mencari jawaban yang sangat logika. Tapi jawaban yang keluar adalah rekaman ulang kejadian saat dia dan gadis itu naik motor bersama, saat Fifi mengobatinya dan juga bibir mungilnya itu. Bukannya tenang dia malah semakin mengamuk. Persis seperti cacing kepanasan. Terutama soal bibir itu, dia sudah seperti laki-laki cabul yang terus membayangkan bisa mencium bibir itu. Mengeluh merengek layaknya anak kecil. Menyesal bertanya tentang hal itu. Juga begitu mudah jatuh cinta dengan gadis itu.

Dewa duduk di pinggir kasur. Untuk beberapa saat masih merenungkan apa yang telah menimpanya. Dia mengambil ponselnya untuk berselancar iseng pada aplikasi. Berharap perasannya tenang. Sekarang sudah saatnya dia menerima perasaannya. Menolak hanya akan membuat dirinya tersiksa. Contohnya? Contohnya seperti foto Wahyu dan Fifi yang ada di layar ponselnya sekarang. Postingan itu lewat di berandanya karena mungkin banyak teman-teman memberikan like pada foto itu. Di ponsel Bagas tadi, dia hanya sekilas melihatnya. Tapi di sini dia baru menyadari postingan itu ditambah dengan sebuah deskripsi.

"Masih menunggu."

Dewa tertawa getir membaca kalimat itu. Dikepalanya itu terdengar seperti omong kosong. Dia kesal bukan main, seandainya saja ada tombol tidak suka dia akan menekannya. Dia bisa saja mulai berkomentar di sana, menjelek-jelekkan segalanya dari foto itu. Entahlah mungkin dia akan berkomentar fotonya kurang cahaya, posturnya jelek, terlalu alay, norak atau juga si pemotret tidak handal. Tapi kalau begitu, dia akan jadi punya image buruk. Dia tidak akan jauh berbeda dengan laki-laki pengecut yang banyak bicara. Jadi, dia lebih memilih untuk melaporkannya pada aplikasi dengan alasan 'Saya hanya tidak menyukainya.' Setelah itu, dia melempar ponselnya. Menarik napas panjang. Merasa hidupnya mulai damai..

Benar, masalah moderen solusinya juga harus moderen.

Suara bel rumahnya terdengar, Dewa mengerutkan dahinya bingung. Dia melihat ke arah jam dinding menunjukan pukul delapan malam. Siapa gerangan yang datang ke rumahnya malam-malam begini? Temanya? Siapa? Bagas? Fikri? Sultan?

"Nggak mungkin, mereka belom tahu rumah gue dimana." katanya lagi. Bel kembali berbunyi, membuatnya agak parno. Masih terus berpikir siapa temannya atau siapapun itu. Menganggap mungkin saja itu orang iseng ataupun sales minyak wangi abal-abal keliling. Tapi semakin dia pikir, orang yang tahu rumahnya hanya satu. "Nggak mungkin tuh, cewek kan? Ngapain dia ke rumah gue? Malem-malem lagi?"

Sekarang rasa penasarannya yang menggebu-gebu, dia meneguk habis minumannya. Berkumur-kumur cepat, memastikan mulutnya tidak bau, dia meraih handuk kimono untuk menutupi tubuhnya melihat pada kaca memastikan dirinya sudah keren dan tampan. Lalu setelah itu, dia kalang kabut lari menuruni tangga bahkan rela melompat agar lebih cepat.

Begitu sudah ada di depan pintu, Dewa mempersiapkan dirinya cukup lucu. Dia sebentar berbolak-balik tanpa alasan, tangannya menjalar berniat membuka tapi dia urungkan lagi. Dikepalanya mungkin sudah kacau berpikir kemana-mana, makanya dia gelisah. Tapi akhirnya dia mengusap-usap tangannya gelisah. Diam-diam berdeham mengetes suaranya. Terakhir dia menyisir rambutnya. Baru setelah itu dia membuka pintu dengan senyuman tampannya. Namun, dengan cepat senyumannya pudar.

Itu kedua orang tuanya.

"Dewa, lama banget si, Kak." Wanda menyapa bersama koper besarnya juga platik besar. Ibunya memeluk Dewa erat. Lalu langsung masuk ke dalam. Devan, Ayahnya juga ikut masuk bersama koper dan tas laptopnya. Menepuk pundak anaknya tanpa kata. Dia tahu mereka orang tuanya, sudah sepantasnya dia sambut kedatangan mereka. Tapi entah kenapa kali dia kecewa sekali. "Kamu lagi olahraga, Kak?"

Dewa menutup pintunya lesu. Agak sedikit membanting. Mendekati orang tuanya yang masih sibuk di meja makan mengeluarkan semua makanan dari plastik besar. "Iya, biasa, deh! Kok pulangnya hari ini?"

Dewa mendekat, melihat apa yang mereka bawa. Ada risoles mayonaise kesukaannya tapi entah kenapa malam ini melihat itu dia tidak berselera. "Loh, kan sudah kabarin ke Kamu pulang hari ini. Lupa, ya? Ya, agak telat si macet di jalan. Kamu udah makan?" tanya Wanda. "Makan dulu, geh. Tuh, udah dibeliin risoles pesanannya."

Dia diam sebentar, perasaannya amburadul. Padahal sudah dia keluarkan sedikit sebelumnya tapi sekarang menumpuk lagi. "Aku pikir tadi siapa yang dateng," katanya.

Devan mengambil satu risoles lalu memakannya nikmat. "Emangnya siapa?" Dia melirik anak satu-satunya itu. Dengan wajah datar tentunya. "Pacarmu?"

Wanda melirik antusias. Mencolek anaknya untuk diledek. "Ciee, emang udah punya pacar? Siapa?"

"Ya, nggak juga." balasnya lesu. Wanda melirik pada suaminya memberikan kode soal anaknya yang agak aneh tapi tidak di balas oleh Devan. Dia hanya pergi melengos ke lantai atas. Dewa mengambil risoles itu kesal. Menikmatinya dengan wajah cemberut.

Benar, salahkan saja dia yang terlalu berharap lebih.

-¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦-

Semua gambar yang ada itu hanya Ilustrasi.

Kalau ada yang berbeda wajah atau lokasi atau apapun itu. Maklumi aja.

Karena semua gambar hanya mendukung orang-orang yang sedang malas berfantasi atau berkhayal.

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang