-¦- -¦- -¦- 52 -¦- -¦- -¦-

5 3 0
                                    

Dewa menggaruk telinganya, tidak sadar dia telah dibicarakan di tempat lain. Lokasi dia berada saat ini adalah sebuah bangunan tua tak terpakai. Berdiri di salah satu pilar mencoba untuk tidak tertangkap basah saat dirinya kini telah memata-matai seseorang di belakang sana. Pembalap ini mengintip sedikit. Mendapati Abim yang hanya berdiri di tengah bangunan yang hampir hancur.

Beberapa menit sebelum dia berada di sana, Dewa berniat untuk pergi ke sekolah tapi saat di lampu merah dia tidak sengaja berpapasan dengan Abim. Cowok itu ada didepannya tapi bagi Dewa itu sudah cukup baginya untuk mengenali. Awalnya dia tidak peduli malah mencoba untuk menganggap dia tidak bertemu siapapun. Tapi rapat kemarin mendorongnya untuk berbuat lain.

Abim adalah tanggung jawabnya sekarang. Itu artinya dia bebas melakukan apapun termasuk menerima tantangan balapannya.

Jadi, saat lampu merah berubah. Bukannya pergi ke arah ke sekolah, dia malah berbelok mengikuti ke mana Abim pergi. Cowok itu tidak mengenakan seragam sekolah jadi jelas tujuannya berbeda. Diam-diam Dewa mengikutinya dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Menuntunnya ke tempat bangunan terbengkalai yang jelas tampak horor. Mungkin bekas rumah sakit atau bangunan penting lainnya tapi yang jelas melihat betapa hancurnya bangunan terbengkalai itu tempat ini pasti sudah diabaikan lebih dari lima tahun.

Dan setelah itu di sinilah dia.

Abim sebelumnya bertemu seseorang yang kemudian pergi. Tapi tidak lama orang itu kembali bersama tiga orang lainnya. Dewa mengerutkan dahinya, berbisik sendiri. "Orang itu kayaknya nggak asing," Dia melihat dengan seksama sebentar, lega akhirnya dia ingat. "Ah, orang yang nawarin gue buat bayar tempat balap. Jadi, itu kakaknya si Abim? Namanya Bima?"

Mereka mendekati Abim, terutama salah satu pria yang tingginya tidak jauh berbeda dengannya. Pria tinggi, rambutnya berponi rapih dan pakaiannya cukup stylish. Mungkin karena dia seorang mahasiswa, tampan, ada bekas luka gores di dekat hidung juga tahi lalat di bawah alisnya. Jujur saja wajahnya mirip sekali dengan Abim, jika tidak tahu mereka seperti anak kembar. Cuman wajah Bima adalah versi lebih dewasanya.

"Mau apa lo ke sini?" sapa Bima tidak senang.

Abim sebentar melihat teman kakaknya yang menatapnya dengan remeh. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya dia berikan pada Bima. "Dari Ibu."

Bima menerima itu agak kasar, mengantonginya tanpa masalah. "Udah beres masalah lo?"

"Udah." balasnya lesu.

"Udah ditangan lo tempat balapnya?" tanya Bima. Di tempatnya Dewa mengerutkan dahinya, sepertinya ucapan Edel soal Bima yang memperalat Abim ternyata betulan tapi karena Abim diam, Bima jadi menyingung sinis. "Belom, kan?"

"Gue butuh waktu lagi Bang." ucap Abim frustasi. "Di sekolah lagi banyak masalah. Gue nggak bisa fokus buat ke tempat balap untuk saat ini. Lagian gue nggak bisa ngerebut tempat balap kalau masih ada Reza. Dewa juga nggak bakalan biarin. Jadi---"

Aduannya terpotong karena pukulan keras di pipinya. Anak-anak yang lain melihat itu dengan gelak tawa. Terutama karena Abim tersungkur ke bawah. Bima yang memukuli, kakaknya itu mengeratkan pukulannya penuh dengan kekesalan "Bangun lo!"

Abim meringkis, terpaksa bangun menyeka sudut bibirnya yang sobek. Bima tertawa getir. "Apa susahnya, sih, ngerebut tempat balap dari si Dewa. Gue nggak peduli masalah sekolah lo, gue mau minggu ini. Rebut dari si dewa nggak mau tahu gimana caranya, entah lo balapan sama dia atau lu bunuh dia di tengah jalan." tuntutnya. "Kalau lo belum bisa, jangan ketemu gue."

"Tapi, Bang, setidaknya lo balik ke rumah, Ibu nanyain lo terus." pinta Abim. "Ayah juga bilang---"

"Ah, bilangin juga ke ibu, stop kirim uang. Itukan yang dia mau. Ayah juga sama kan dia yang pengen gue keluar." sindirnya. Bima berdecak kesal dengan semua drama yang terjadi di hidupnya. "Mendingan lo balik, gue sibuk."

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang