-¦- -¦- -¦- 47 -¦- -¦- -¦-

5 1 0
                                    

Wahyu, Rizal, Akmal dan Pendy berlari sampai mereka yakin suara sirine polisi tidak terdengar di telinga mereka lagi. Entah kemana mereka berlari secepat itu, yang ada di pikiran mereka adalah kabur sebelum mereka tertangkap anggota kepolisian. Karena jika iya, setelahnya pasti akan jadi panjang. Dan ke empatnya tidak mau menerima situasi itu.

"Yu, si Fifi kemana?" tanya Akmal khawatir.

Napas mereka sudah putus-putus tapi terus berlari secepat yang mereka bisa. "Sama si Dewa." balasnya kesal. "Kesel tuh orang tiba-tiba muncul. Tapi yaudahlah!"

Pendy berkali-kali melihat ke arah belakang. Memastikan tidak ada anggota kepolisian mengejar mereka. Itu agak membuatnya bernapas lega. "Kayanya udah jauh, Yu!" katanya. "Istirahat dulu!"

Rizal menunjuk tikungan di depan. "Belok di depan aja."

Wahyu di depan menurut. Dia semakin mempercepat larinya. Karena yakin setelah ini dia pasti bisa istirahat sebentar. Namun dugaannya langsung dipatahkan oleh segerombolan anak 08 di sana. Sontak dia berhenti, membuat Pendy, Akmal dan Rizal saling bertabrakan di belakangnya. Baru sadar setelah mereka melihat apa yang terjadi. Apa lagi Wahyu juga mengumpat di tengah napasnya sudah hampir habis. Kesal bukan main.

Segerombolan anak 08 yang tengah menongkrong, mungkin sekitar lima belas orang itu melihat kedatangan Wahyu dengan gembira. Senang dalam artian buruk, sudah sejak lama mereka berniat menghabisi pentolan 07. Dan sekarang saatnya mereka diberikan kesempatan juga berhadapan. Bagaimana tidak senang? Tapi di antara mereka ada satu orang yang cukup menarik perhatian. Ya, di antara yang lain dia membawa sebuah stick golf di pundaknya. Selain itu, sebuah rokok juga ada di sudut bibirnya. Jelas dari sini pun sudah di ketahui siapa pemimpin dari kelompok di depan.

Atau bahkan mungkin penyerangan hari ini.

"Wah, wah, wah. Siapa, nih? Pentolan 07!" Orang itu Faisal, dia menyapa sok asik. Jalan ke tengah jalan dengan sikap tengilnya. Stick golf itu dia pukul ke aspal, dia jadikan tumpuan untuk dia menghisap rokoknya. Tertawa sinis. "Tadinya niat pengen di cari. Tapi dateng sendiri."

"Jadi, lo dalangnya?!" pekik Wahyu. Ikut tertawa getir juga. "Ah, atau si Iksan yang suruh lo? Lo kan kacungnya dia."

Faisal menyinggung getir. Rokoknya dia banting ke aspal. Di injak penuh dendam. Melototi Wahyu seperti iblis yang murka. "Gue bukan kacung dia."

Pendy merapat, berbisik pada Wahyu. "Itu si Faisal, ya?"

Wahyu hanya bergumam. Akmal ikut mendekat, ikut bertanya. "Lima belas. Lo masih kuat?"

"Zal. BR masih lo bawa?" tanya Wahyu.

Rizal di belakang mengeleng khawatir. "Nggak. Relfleks gue buang tadi."

Itu artinya mereka benar-benar tengah tangan kosong sekarang. Satu-satunya yang tersisa hanya buku-buku yang masih terlakban di tangan kiri Wahyu. Itu juga keadaannya sudah tidak layak setelah beberapa kali menepis celurit di tawuran sebelumnya. Lagi-lagi dia mengumpat. Entah berapa kali dia mengumpat hari ini. Rasanya hari ini adalah hari sialnya. Semuanya tidak berjalan dengan baik untuknya. "Mana yang lain?" teriak Wahyu.

Faisal tertawa geli. "Kenapa? Takut?" ledeknya. "Tenang aja, gue bisa kok habisin lo sendirian. Tapi bukan berarti lo bisa memang. Empat lawan lima belas? Mungkin lo bisa lawan lima. Tapi kacung-kacung lo? Gue yakin sekali pukul juga K.O."

Pendy yang tersulut oleh ledekan itu jelas menyerobot sewot. "Wah, anjing, nih, orang! Ngeremehin gue lo!" sensinya kesal. "Sini lo ribut sama gue satu lawan satu. Gue nggak takut sama lo!"

Wahyu menahan Pendy, Rizal juga ikut menenangkannya. "Nggak perlu tersinggung, Pen. Dia sendiri juga kacungnya si Iksan."

Faisal memukul aspal dengan stick golfnya itu, sampai jalanan itu agak retak. Menggeram marah. "Gue bilang gue bukan kacungnya!" hardiknya. Dia mengangkat stick golf, menunjuk Wahyu dengan itu. "Hari ini lo bakalan mati, Yu!"

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang