-¦- -¦- -¦- 51 -¦- -¦- -¦-

4 3 0
                                    

Masih di hari yang sama, bertanya-tanya dimana Wahyu berada, dia ada di rumah Iqbal. Membolos bersama Rizal, Pendy dan Akmal. Di kamar, mereka telah asik bermain playstation bola, yang telah bermain adalah Wahyu dan Akmal. Pertandingan bola antara brazil melawan argentina atau Wahyu melawan Akmal.

Si pemilik kamar hanya bisa duduk di atas ranjangnya dengan dongkol, luka bekas serangan Iksan sudah sembuh delapan puluh persen. Tapi tetap dia tidak bisa mengusir keempat tikus yang tiba-tiba masuk ke kamarnya ini. Mereka datang dengan alasan bersembunyi untuk bolos sekolah tapi berkunjung memainkan playstasionmya seperti milik mereka sendiri.

Jadi tidak heran wajah Iqbal menekuk seperti kanebo kering dipojok sana.

"Ke kanan, Mal. Kanan." seru Pendy gemas, memukul pundak Akmal yang agak membuatnua risih. Dia sendiri masih fokus menaikan stick PS. Entah dia mendengarkan Pendy atau tidak tapi yang pasti Wahyu disebelahnya tidak bersikap sama. Dia dengan santainya menggerakan stick PS sembari meneguk kopi di gelas. Tampak seperti bukan apa-apa baginya. "Mal! Yang bener, anjir!" omelan Pendy semakin keras saat Akmal di sana malah memberikan bola pada musuh. Terlihat jelas skil bermain gamenya payah sekali. Sangking kesalnya Pendy akhirnya memukul kepala Akmal. Mengomelinya dengan keras. "Tolol, kenapa lo kasih ke sana!"

Akmal berdecak emosi. "Sabar, lol! Lo pikir gampang apa?!" Keduanya kembali fomus walau sama-sama mendumal. Wahyu melirik pada Rizal di belakangnya, mengkodekan ini waktunya untuk berhenti basa-basi. Jadi, Wahyu dengan mudahnya menekan stick PS begitu mudah. Sepertinya dia punya rumus sendiri, di layar dia menggiring bola secepat kilat. Dan setelahnya dia begitu mudah mencetak point. "Njing, lah!" umpat Akmal membuang stick PS dengan frustasi, terlebih Rizal dan Wahyu menyurakinya dengan semangat sekali. "Nggak asik lo, Yu! Kasihlah kelonggaran dikit."

"Lo kata sempak lo kelonggaran." sahut Rizal. "Terima aja kalah, mah."

Akmal mengendus kesal, mulai mencari alasan lain. Dan Pendy yang jadi korbannya. "Gara-gara lo banyak bacot, nih! Gue jadi kalah, njing."

"Lo yang nggak bisa main, tolol! Malah nyalahin gue!" sewotnya marah.

Akmal mendorong bahu Pendy agar menjauh darinya. "Enak aja. Lo dari tadi nyenggol-nyenggol gue mulu. Gue jadi kaga fokus!"

Tapi karena hal itu, Pendy jadi mulai emosi. Akmal yang memulai bermain fisik jadi dia juga ikut melakukannya. Membalas mendorong bahu Akmal agak kencang. "Ya, santai, lah, Bos! Ngajak ribut."

"Udah, udah." tegur Wahyu memisahkan keduanya yang hampir bertengkar. Sudah saling tarik kerah baju tapi akhirnya saling melepaskan diri membuang muka, menggerutu di sana. Pentolan sekolah menggeleng lelah. "Cuman game. Kalau lo pada berisik nanti kedengeran ama enyak gue kita di sini."

Keduanya hanya diam membelakangi. Dan Wahyu akhirnya mengambil kotak rokoknya, dibakar karena frustasi.

"Lo pada ngapain pada bolos, si." tanya Iqbal di sana. Yang melihat padanya hanya Rizal itu  juga karena dia duduk di tepi ranjang. "Janjian?"

"Lo belum tahu kejadian kemarin, ya?" kata Rizal. Iqbal hanya diam menunggu. "08 kemarin nyerang 07."

"Hah?! Serius?!" pekik Iqbal tak percaya. "Maksud lo 08 sana 07 akhirnya bentrok lagi setelah dua tahun hiatus?!"

Rizal mengangguk lesu, turun dari ranjang untuk mengambil alih stick yang Wahyu mainkan. "Ya, gitu, deh."

"Si Rakha yang mimpin?" tanya Iqbal.

"Kalau Rakha nggak bakalan mungkin tawuran, Bal." sahut Akmal.

"Lah? Terus siapa?"

"Si Iksan." balas Wahyu sembari menyesap rokoknya. "Tapi yang di jalur cuman ada Faisal."

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang