-¦- -¦- -¦- 55 -¦- -¦- -¦-

5 1 0
                                    

Turun dari metro, Fifi terhenti di pinggir jalan karena melihat seseorang yang tidak asing. Tampaknya sudah menunggunya sejak lama di sana. Agak kebingungan untuk apa Wahyu ada di daerah yang jelas berlawanan arah dengan jalan ke rumahnya.

Fifi mendekatinya, tersenyum kecil. "Wahyu? Ngapain lo di sini?"

"Nggak papa." katanya. Dia menggaruk pelipisnya sebentar, bicara gugup. "Gue bisa minta waktu lo sebentar?"

Gadis itu melihat Wahyu penuh tanya tapi laki-laki ini hanya tersenyum saja. Fifi tidak punya kecurigaan apapun, lagi pula dia tidak punya alasan untuk menolak. Jadi, dia hanya menggangguk lalu Wahyu memintanya untuk jalan lebih dulu.

Pentolan sekolahnya itu mengikutinya, berjalan di sampingnya tanpa sepatah katapun. Cuman senyumannya belum lepas dari wajahnya. Fifi sesekali mencuri pandang ketika tangannya dengan erat mengenggam tas sekolahnya. Dia masih mengenakan seragam sekolah, entah apa yang ingin laki-laki ini bicarakan.

"Tapi---" Wahyu menoleh, begitu juga Fifi. "---kenapa lo bolos?"

Wahyu langsung gugup, berdeham mencari alasan. "Ah, soal itu---gue ada urusan yang harus di selesaikan. Jadi, ya, gue bolos." katanya. Gadis itu masih menatapnya, tampak tidak percaya dengan apa yang Wahyu bicarakan. Maksudnya elakannya itu jelas penuh kebohongan. "Ok, ok. Gue males di tanya sama orang-orang di sekolah."

"Kenapa?" tanya Fifi lagi.

Wahyu menoleh dengan helaan napas lemas. Dia tahu gadis itu tidak akan berhenti bertanya setelah dia menjelaskannya. "Ya, lo tahu gimana pandangan orang-orang tentang gue. Gue, kan, pentolannya." katanya menggantung. Kalah saat gadis itu masih menatapnya. Bicara menambahkan. "Kejadian penyerangan kemarin, pasti semuanya mikir gue yang lakuin, kan?"

Gadis itu mengangguk membenarkan, agak cukup mengiris hatinya mengetahui kenyataan itu. Wahyu adalah pentolan sekolah, kejadian tawuran kemarin benar-benar terparah sejauh ini. Tidak heran semuanya berpikir dialah dalang dari kejadian itu. Jika Wahyu masuk sekolah dia pasti akan jadi sasaran tuduhan orang-orang dan guru di sekolah. Dan sekeras apapun dia mengelak dan menjelaskan tidak akan ada yang percaya dengan pembelaannya. Tidak mau membenarkan tapi keputusan bagus Wahyu membolos.

Setidaknya sampai semuanya agak tenang.

"Dari kapan lo nungguin di sana?" tanya Fifi.

Wahyu tertawa pendek. "Baru sebentar," Menutupi kebohongannya tanpa masalah. Aslinya dia sudah menunggu sejak satu jam yang lalu. "Niatnya gue mau jemput lo di sekolah. Masih bahaya, nggak bakalan tahu Iksan atau yang lain bisa ngelakuin apa. Gue khawatir sama lo." akunya. "Cuman pasti anak-anak sekolah bakalan ngerecokin."

"Katanya si Reza mau jemput gue. Cuman hari ini aneh dia nggak ada." cibirnya sebal. Tapi kemudian dia terpikirkan asumsi baru. Menoleh pada Wahyu penuh dengan tuduhan langsung. "Jangan-jangan lo pelakunya?"

Wahyu hanya tertawa setelah itu. Gadis itu berdecak sebal, tidak heran. Entah apa yang sudah dia katakan pada sepupunya yang keras kepala itu sampai mengizinkan Wahyu. Bukankah sebelumnya dia melarang sekali dia dekat dengan Wahyu? Kadang dia bertanya kenapa Reza begitu plin-plan. Fifi sama sekali tidak berharap dijemput. Sejak awal sepupunya sendiri yang menawarkan diri. Jika dia berhalangan atau apapun. Setidaknya beri kabar padanya.

Fifi menghela napas lesu, "Nggak heran. Untung gue pulang, kalau nggak sampai sekarang gue masih nungguin si Reza di sekolah." katanya. Dia melirik sebentar, ragu-ragu bicara. "Trus lo mau ngomong apa?"

Mereka berhenti, saling pandang entah untuk alasan apa. Gadis di sana agak gelisah tentang apa yang akan laki-laki ini bicarakan. Wahyu jelas terlihat gugup, lehernya terlihat menelan salivanya. Bibirnya sudah terbuka untuk bicara, Fifi bahkan sudah siap mendengarkan. Tapi tersela oleh suara musik dari penjual es krim tidak jauh dari mereka. Gadis itu masih menunggu tapi tidak dengan Wahyu.

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang