-¦- -¦- -¦- 53 -¦- -¦- -¦-

12 2 0
                                    

Belum sampai sepenuhnya di halaman rumah, dari jauh Fifi sudah melihat sesuatu yang tidak biasa ada di depan rumahnya. Tapi itu bukan sesuatu yang asing, dari sosok dan juga motornya itu menggambarkan Dewa. Jelas kehadirannya itu membuatnya khawatir, masalahnya saat ini dia bersama Reza lebih tepatnya diboncengannya. Terakhir kali mereka berdua bertemu berakhir dengan keributan karena sepupunya yang mengamuk. Jika mereka bertemu lagi, bukankah tidak heran jika mereka pasti bentrok seperti terkahir kali?

"Itu, Dewa, kan, Za?" tanyanya memastikan. Panik juga gelisah.

Reza di depan tidak bicara apapun, tapi matanya sontak melihat ke depan. Di balik helm, alisnya naik. Wajahnya berubah tak senang saat melihat ketuanya yang harusnya tidak berada di sana. Mereka dengan santai menepi, memarkirkan motornya di halaman rumah tidak jauh dari Dewa yang berhenti memarkirkan motornya. Pembalap itu hanya melambaikan tangan saat melihat kedatangan keduanya.

"Lo ngapain di sini, Wa?" Fifi turun dari motor, melihat bingung juga curiga. "Lo hari ini bolos, kan?"

Dewa tertawa geli. "Kenapa, lo kangen?"

Fifi langsung sensi, membalas kesal. "Ngapain gue kangen sama lo. Kaya nggak ada hal lain aja. Heran!"

Setelah melepaskan helmnya, Reza menyahut ketus. "Mau apa lo? Ketemu dia? Gue udah bilang jangan deketin sepupu gue. Lo nggak paham?"

"Nggak, gue mau ketemu lo. Gue nggak tahu rumah lo, jadi niatnya gue mau nanya si Fifi tapi ternyata lo datang sendiri." katanya. "Gue ketemu Abim hari ini. Sabtu gue sama dia balapan." ungkapnya. Dewa menarik seringai. Teringat kejadian di tempat terbengkalai itu. "Kebetulan gue ketemu si Bima juga."

Reza tersentak kaget. Fifi bingung tidak mengerti. "Apa? Kok bisa?"

"Gue ikutin Abim, niatnya mau ngobrol dua mata sama dia tapi ternyata dia mau ketemu sama Abangnya. Trus juga---" katanya. Dewa merogoh saku jaketnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet hitamnya. Dia sodorkan pada Reza. "Nih, buat beli barang-barang yang rusak. Kalau kurang lo bilang ke gue. Kabarin ke yang lain juga. Minggu ini tempat balap harus buka."

Reza diam, lebih tepatnya melihat pada sepupunya itu. Fifi yang sejak tadi merasa dipandang akhirnya menyadari. Mengeluh dia mengambil uang dari tangan Dewa dan dengan dongkol dia berikan pada Reza. Sepupunya itu menerima dengan datar, dia menghitung sebentar lalu dia masukan ke dalam sakunya. "Emang beneran nggak ada cara lain, Wa?" tanya Fifi ikut campur.

Kedua laki-laki itu sontak melihat ke arahnya. Dewa menarik seringai. "Cara lain? Banyak. Contoh? Mungkin adu pukul sama dia, satu lawan satu."

Reza tertawa geli dengan kalimat juga tantangan itu. "Lo lawan Abim? Adu jotos sama dia? Bukannya gue ngeremehin lo tapi lo nggak bakalan menang sama dia."

Fifi memukul sepupunya itu, merasa dia sudah kelewatan. "Za, parah banget lo."

Dewa kemudian menyela. "Nggak, Reza bener." katanya. "Gue liat Abim punya teknik. Gue curiga dia bisa boxing."

"Memang." Balas Reza. "Gue juga baru tahu setelah ngalahin dia. Ngalahin dia satu lawan satu nggak bisa di tempat biasa. Harus di atas ring. Dulu pernah ada anak 08 yang nekat lawan dia. Jelas tuh orang kalah sama dia. Gue denger dia sampai budek sebelah, ujung-ujungnya keluar dari sekolah." ungkapnya. "Gue termasuknya beruntung, karena si Abim butuh gue dia masih ngelepasin gue. Kalau nggak mungkin gue bernasib sama."

Fifi menatap Reza tidak percaya. "Serius lo?" dia kemudian mengusap dadanya lega. "Untung bukan dia yang nampar gue. Tapi tetep aja, sama Gema juga sakit." Mendengar keluhan itu, Fifi jadi dapat tatapan sedih dari Reza. Memang tidak terlihat sedih, wajahnya lebih ke arah kesal. Cuman dia tahu, ucapannya menyenggol rasa bersalahnya. "Sorry."

"Gue juga bisa boxing, gue mungkin bisa kalahin Abim. Tapi nggak saat ini." kata Dewa. "Gue belajar boxing juga buat olahraga aja. Tapi Abim kayanya dia punya mentor." tukasnya. Dia menarik napas lelah. Mengusap telungkupnya frustasi. "Ya, setidaknya dia nggak minta gue buat adu jotos sama dia. Udah keputusan Abim dia mau balapan. Jadi, ya nggak ada cara lain."

"Tapi nanti kalau lo kecelakaan gimana?" tanya Fifi penasaran.

Dewa menopang dagunya, menatap dengan seringai ledeknya. "Kenapa? Khawatir?" godanya yang jelas membuat gadis itu semakin dongkol. Menyesal bertanya. Tapi Dewa buru-buru menenangkannya. "Santai, gue nggak bakalan mati. Gue nggak bakalan mungkin kasih tempat balap gue ke Abim ataupun Bima atau siapapun di luar sana." katanya. Lalu kembali menatap Fifi dengan senyumannya. "Lagian gue juga masih nungguin hutang gue yang belom lo bayar."

Fifi terdiam dengan itu. Bertanya-tanya hutang yang mana lagi yang Dewa tagih kali ini? Seumur hidupnya dia belum pernah merasa begitu dikejar-kejar karena hutang begini. Tapi karena itu dia jadi teringat kejadian di cafe kemarin. Membuatnya berasumsi jika itu hutang yang cowok ini maksud. Makanya dia membuang muka, yakin wajahnya pasti merah saat ini.

"Abim nggak bakalan biarin lo menang, Wa." ucap Reza yakin. "Dia pasti bakalan pake cara curang. Entah nendang motor lo ditengah jalan atau bikin sesuatu biar seolah-olah lo kecelakaan."

Dewa membalas dengan santai. "Bener juga. Gue penasaran dia bakalan pake cara yang mana."

"Gue rasa itu bukan sesuatu yang dimana lo bisa sesantai itu, deh, Wa." Tegur Fifi. Dan pembalap itu kini menatapnya dengan seksama, dengan wajah tampannya itu. "Gue nggak bermaksud apa-apa. Tapi semoga lo menang."

Mereka sama-sama terdiam, Dewa melihat ke arah Reza yang tidak menunjukan respon apapun. Dia akan anggap Reza kali ini membiarkannya dan itu membuatnya tertawa geli. Dia mengenakan helmnya. Menyalakan motornya. Jelas akan pergi. Tapi sebelum memutar gasnya, dia bicara di balik helmnya. "that's the reason why I had to get you. (Itu alasan kenapa gue harus dapetin lo.)"

Pembalap itu pergi begitu cepat. Keduanya masih menatap kepergian Dewa dan Reza yang penuh pertanyaan. "Ngomong apa tadi dia?" katanya. Tapi karena tidak mendapatkan respon dari sepupunya dia menoleh, terkejut mendapati gadis itu menunduk dengan senyuman dan pipinya yang merona. "Woi! Ngapain lo senyum-senyum? Muka merah banget, apa dia ngomong apa?"

Fifi tersentak, menggeleng menyentuh kedua pipinya. Berlalu dari sana, mencibir sepupunya itu. "Apa sih? Ya nggak tahu. Makanya belajar bahasa inggris, biar nggak kek orang tolol."

Reza kesal, dia mencabut kunci motornya. Mengejar gadis itu. "Apa?! Woi! Anjir lo, ya! Awas lo!"

"Ahhh, mama!"

-¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦-

Semua gambar yang ada itu hanya Ilustrasi.

Kalau ada yang berbeda wajah atau lokasi atau apapun itu. Maklumi aja.

Karena semua gambar hanya mendukung orang-orang yang sedang malas berfantasi atau berkhayal.

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang