Fifi berjalan lesu menyusuri lorong kelas bersama tas sekolahnya, bel sudah berbunyi lima menit yang lalu. Kelasnya sudah sepi, dia agak telat untuk merapihkan beberapa hal di kelas. Kelas yang lain masih ada beberapa pelajar yang entah sibuk dengan apa. Namun yang pasti, dia ingin cepat pulang ke rumah lalu merasakan empuknya kasur di kamarnya.
Wajah murungnya disebabkan oleh kejadian hari ini. Masih kesal dengan Dewa, heran kenapa laki-laki itu tampaknya berniat melakukan sesuatu yang tidak pantas dengannya. Dan kalau dia ingat ini sudah ketiga kalinya, itu sangat mengerikan. Pertama, saat kelas olahraga. Kedua, saat di metro. Ketiga, saat di rumahnya waktu itu. Dan keempat---tunggu. Itu sudah lebih dari tiga. Terlambat menyadari bahwa dia hampir menjadi mangsa laki-laki itu. Fifi berdecak kesal. "Emang dasar cabul. Gue yakin permintaan taruhan dia nanti nggak jauh-jauh dari seksual. Awal aja kalau iya. Gue bakalan---"
Ocehan Fifi tersendat karena matanya tersentak melihat Dewa di depan sana. Lebih tepatnya di pinggir lapangan dekat tempat parkir juga jalannya keluar dari sekolah ini. Dia tengah asik mengobrol dengan dua pelajar lainnya. Dilihat si, mereka anak kelas lain yang cukup terkenal karena anggota basket. Fifi buru-buru membalikan badannya, dia gelisah sendiri. Berdiri di sana dengan kebingungan.
"Aduh, gimana gue lewatnya?" Gumamnya merengek. Rasa canggung dihatinya masih ada karena kejadian hari ini. Jujur saja itu sangat memalukan baginya. Memang dia jadi teringat tentang kejadian dua bulan yang lalu tapi di sisi lain dia jadi membayangkan yang bukan-bukan. Kalau begini terus bisa-bisa sebutan cabul dan mesum akan berpindah padanya. Dia diam-diam mengintip ragu-ragu. Mengeluh sebal saat Dewa masih asik bicara di sana, bahkan sempat-sempatnya tertawa lepas. "Elah, kapan perginya si. Kalau gini ceritanya, kan, gue yang---"
Di saat itu, Fifi diam. Kedua alisnya berkerut jelas. Lalu mengomel sendiri. "Tunggu! Kenapa gue jadi panik gini? Yang salah, kan, si Dewa. Gue yang harusnya marah, harusnya gue mukulin dia atau apalah. Gue korban pelecehan seksual. Kenapa jadi gue yang ciut gini?" katanya dongkol. Terdiam dengan kepala yang ricuh untuk beberapa saat, secepatnya menyadari jika tingkahnya sekarang itu jelas lebih aneh dari Dewa. Jadi, setelah membuang rasa acuhnya. Langkahnya lebih yakin dari sebelumnya. "Gue nggak peduli, Njir. Gue mau pulang!"
Dia pergi seperti tidak terjadi apapun. Melihat ke arah Dewa saja tidak. Padahal saat pelajar lain melintas tidak ada satupun yang tidak menoleh ke arah mereka. Habisnya selain mereka anggota basket yang terkenal jago, mereka itu kumpulan orang tampan. Tapi itu tidak berlaku untuk Fifi. Saat sudah dekat, gadis itu sadar si pembalap ini menyadari kedatanganya. Makanya saat dia sudah akan melengos pergi. Tiba-tiba saja tangan Dewa melebar seperti portal komplek. Menghalangi jalannya.
Apa dia harus memberikan tiket keluar agar boleh pergi?
"Minggir!" geramnya seram. Dia anggap itu sebagai tiketnya tapi memang tidak akan berhasil. Cowok ini masih mengobrol rancu yang Fifi tidak pahami. Dia sempat ingin menerobos tapi tangan itu malah menangkap seluruh dirinya, mencengkram pundaknya. Membuatnya makin kesal, terpaksa menunggu sampai urusan mereka selesai. Tapi tidak lama dua temannya itu pamit pergi. Dan Dewa sekarang menghadap padanya. "Lepas! Gue mau pulang!"
"Yang tadi siang, gue nggak maksud apapun!" tembaknya langsung.
Karena kejadiannya masih hangat di kepalanya mana bisa dimaafkan begitu saja. Apa lagi, Fifi tidak bisa melihat kedua mata Dewa karena sangking malunya. Karena hal itu juga jadi salah fokus, memangnya apa lagi yang bisa dia liat selain bibir laki-laki itu. Membuatnya kembali teringat kejadian hari ini. Dengan kasar dia menepis tangan itu, langsung lari kalang kabut dengan wajah merahnya.
"Ugh! Fi, tunggu!" panggil Dewa.
Mendengar itu jelas membuat Fifi semakin mempercepat langkahnya. Dan ketika sudah berada di tempat parkir, dia melihat Wahyu yang sudah siap pergi untuk pulang dengan motor besarnya itu. Melihat ada peluang untuk kabur lebih cepat dia lari mendekati Wahyu. Langsung naik ke atas motornya. "Eh? Siap--eh, Fifi? Pelan-pelan naiknya. Lo ngagetin gue."
Gadis itu menepuk pundak Wahyu panik. "Wahyu! Ayo jalan!"
"Kenapa si?" Tanyanya kepo.
Fifi berdesis gemas. "Udah jalan aja! Cepet!"
Wahyu melirik pada kaca spion. Sadar ada Dewa yang berlari menuju ke arahnya. Dia mengerti apa yang terjadi, jadi buru-buru dia memakai helmnya, menyalakan motornya lalu tancap gas pergi dari sana.
Dewa? Dia berdecak kesal dengan napas tersengal-sengalnya.
-¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦-
Motor Wahyu berhenti di depan rumah Fifi. Gadis itu turun dengan wajah dongkolnya. Rasa kesalnya pada Dewa masih belum hilang. Padahal berniat menghindari Wahyu tapi malah pulang dengannya. Sekarang bagaimana dia menghadapi Wahyu?
"Kenapa si Dewa?" tanya Wahyu setelah melepas helmnya. "Dia ganguin lo?"
Fifi menghela napas letih, letih dengan semua drama ini. "Nggak ada. Gue lagi males aja sama dia! Dia aneh hari ini."
"Aneh gimana?"
Lagi dan lagi kepalanya memutar kejadian itu. Mulai merasa kepalanya mungkin rusak atau apalah itu. Intinya dia ingin melupakannya. Itu kalau bisa. "Nggak papa." balasnya. Fifi melihat Wahyu, dia ragu-ragu bicara. "Yu, soal postingan lo---bisa lo hapus?"
Wahyu tersentak bingung. "Loh? Kenapa? Kan gue udah izin sama lo."
Ucapan Wahyu memang benar. Laki-laki itu memang sudah meminta izin padanya semalam lewat pesan. Ya, dia pikir memang apa salahnya. Itu hanya foto biasa, apa yang akan terjadi nantinya. Dia bukan siapa-siapa Wahyu. Itu pikirannya semalam. Tapi setelah mendapatkan semua pertanyaan hari ini di sekolah. Dia baru sadar jika asumsinya salah besar. Foto itu adalah awal dari masalah. Dia menggaruk pelipisnya bingung. "Eng, gimana, ya. Hari ini jadi banyak yang nanya ke gue. Gue jadi nggak enak sama lo."
Wahyu menarik senyum, tertawa kecil. "Nggak enak kenapa?"
"Ya, orang-orang jadi mikir gue ada hubungan sama lo. Trus ada yang bilang gue yang deket-deketin lo buat pansos, lah. Cari muka lah." adunya dongkol. "Trus juga---" Pentolan sekolahnya ini sekarang menatap gadis dihadapannya dengan senyuman. Memandanginya begitu damai. Fifi jadi ragu-ragu untuk melanjutkan. "---gue itu pacar lo."
"Belom, kan? Bukan nggak." balas Wahyu enteng. "Gue masih nunggu jawaban dari lo."
Mulut Fifi bungkam. Dia menunduk tidak punya jawaban soal itu. Perasaannya masih abu-abu. Di matanya Wahyu masih tidak begitu istimewa baginya. Dia tidak ada bedanya dengan laki-laki lain kecuali dengan sebutan pentolannya itu. Ya, harusnya dia bisa membuka hatinya untuk menghargai Wahyu tentang pengakuan perasaannya itu. Cuman rasanya begitu sulit. Entah karena dia terlalu takut atau rasa dihatinya belum muncul. "Soal itu, gue---"
"Santai. Gue bakalan tunggu, kok!" katanya. "Gue nggak maksa. Apapun jawaban lo gue terima."
Kata penenang itu agaknya cukup ampuh, Fifi menganguk menarik senyumannya. Sejak dulu dia tahu, segalak, sebrutal dan memang sering adu pukul kenyataannya Wahyu lembut di dalam. Sebelumnya dia merasa punya beban untuk pernyataan perasaan itu. Tapi setelah mendengar itu bebannya agak hilang sedikit. Wahyu mengusap kepalanya, menjahilinya di sana.
Tidak sadar ada sebuah kamera yang menangkap kedekatan mereka. Si pemilik ponsel menarik seringai. Mereka tiga laki-laki yang sempat memalak Fifi hari itu. Mereka saling menaikan alis sebagai kode. Lalu pergi dari sana.
-¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦-
Semua gambar yang ada itu hanya Ilustrasi.
Kalau ada yang berbeda wajah atau lokasi atau apapun itu. Maklumi aja.
Karena semua gambar hanya mendukung orang-orang yang sedang malas berfantasi atau berkhayal.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Get You [ TAMAT ]
Novela Juvenil-¦- -¦- -¦- VERSI DUA -¦- -¦- -¦- #Bukan lanjutan, tapi versi lain. Ada Ester egg dari cerita sebelumnya# Aku tidak merasakan apapun Rasanya hanya sunyi dan hampa Tapi entah kenapa itu hanya terjadi ketika melihatmu Rasa suka yang ku alami kali ini...