-¦- -¦- -¦- 29 -¦- -¦- -¦-

21 2 0
                                    

Berbeda dengan hari yang lain, malam ini Dewa diam di bawah tenda panitia. Meneguk minuman bersodanya dengan wajah murung, pikirannya kalut dan dia tampaknya galau.

Mungkin ini karena tadi sore.

"Makasih!" kata Fifi setelah turun dari Noel. Sudah di depan rumahnya. Berniat masuk setelah laki-laki ini pergi. Tapi bukannya langsung pergi. Dewa malah melepas helmnya, menjadikan sandarannya untuk melihatnya tanpa kata. Jelas dia risih. "Apa?" tanyanya heran. Mengerutkan dahinya curiga. "Lo minta bayaran?"

Dewa tertawa geli, lucu dengan jawaban yang diberikan padanya. "Nggaklah."

"Trus apa? Lo mau apa? Tatapan lo itu mencurigakan tahu, nggak?" katanya sensi. "Udah sono cepet pulang!"

"Lo nggak mau cerita soal kejadian itu?" Sorornya. Fifi menyatukan kedua alisnya. Kebingungan. "Kejadian yang lo bilang. Separah itu?" Fifi diam saja, agak lambat tapi akhirnya dia mengerti. Dewa membahas soal kejadian di tempat balap. Bertanya kenapa laki-laki ini ingin sekali tahu. "Lo pernah dateng ke tempat balap gue?"

Gadis itu merespon dengan malas-malas. "Ya, dua kali."

"Kejadiannya di tempat balap?" tanyanya.

Fifi bungkam, membalas dengan singkat. "Gue nggak mau ngomongin itu."

Mendengar balasan Fifi. Dewa mengangguk saja. Kembali memakai helmnya dan langsung pamit pergi. Dia yang asumsi sendiri dia juga yang frustasi memikirkan hal itu. Sejak melihat tingkah gadis itu yang aneh di kantin. Dia berpikir itu ada hubungannya dengan tempat balap. Awalnya tidak yakin Fifi bisa datang ke tempatnya, tapi setelah mendengar jawabannya. Dia tidak heran.

"Dua kali ke sini?" gumam Dewa. Dia melipat tangannya di dada. Memincingkan matanya. "Sama siapa?"

Aneh memang memikirkan hal itu, cuman kepalanya ini tidak mau tidak memikirkan pertanyaan yang menumpuk di kepalanya. Apa yang terjadi? Kejadian apa yang menimpa gadis itu? Dan memangnya separah apa sampai dia tampaknya agak menyimpan trauma begitu? Semakin dia berpikir keras semakin banyak asumsi dan juga tuduhan yang bukan-bukan. Maksudnya, ayolah, lihat saja tempat balapnya ini. Dia yakin sembilan puluh persen isi pengunjung tempatnya adalah laki-laki brengsek. Membayangkannya saja rasanya entah kenapa dadanya sakit.

"Wa?" Panggil Jarot. Dewa melirik sebentar, akhirnya sadar ada Beni dan Jarot di kursi lain sejak tadi. Sibuk menghitung uang taruhan. Mungkin menyadari sejak tadi dirinya bergumam sendiri. "Kenapa lo?"

"Galau kali. Ditolak cewek?" ledek Beni.

Dewa memutar bola matanya malas. "Ngaco lo, Ben!"

"Lo cakep, Wa. Nggak heran kita mah kalau lo dah ada cewek." kata Jarot. Dia menyikut Beni, menyindir halus. "Emang kita, ya."

Tidak nyaman diolok-olok, dia mencari topik lain. "Reza kemana?"

"Ah, ngomongin soal Reza. Lo tahu ada kabar anak 07 nyerang anak 08 pake tepung?" kata Jarot. Dia heboh sendiri, memukul-mukul lengan Beni antusias. "Gue liat videonya. Anjir, seru banget gila kejar-kejaran. Lagi rame banget diomongin."

"Trus apa hubungannya?" tanya Dewa jengkel. Pura-pura bodoh dan tidak tahu. Kesal kejadian itu harus kembali dibahas. Untung saja mereka tidak tahu, entah bagaimana dia menjelaskannya.

Beni membalas. "Ya, lo tahu Reza orang penting di 08. Sibuk ngurusin masalah itu pastinya. Jadinya nggak dateng,"

Dia diam sebentar, di sekolah semua orang menyadari di video itu adalah dia dan Wahyu. Walaupun dia ataupun pentolan sekolahnya itu tidak mengaku dengan terang-terangan jika itu mereka tetap saja semua orang yakin. Dan menang kenyataannya itu dia dan Wahyu. Bertanya-tanya apa Reza menyadarinya atau tidak. Dan apa tanggapannya nanti.

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang