-¦- -¦- -¦- 56 -¦- -¦- -¦-

2 2 0
                                    

Hujan membasahi Jakarta hari ini, awan hitam di atas begitu pekat tanda hujan akan berlangsung cukup lama. Bahkan di beberapa tempat agak banjir karena begitu derasnya guyuran hujan. Di tambah waktu sudah hampir gelap, suasananya jadi cukup mencekam karena petir yang mengamuk.

Sejak pergi dari taman, Wahyu hanya berjalan lesu menerobos derasnya hujan. Ketika yang lain berlari menghindar, dia hanya tetap berjalan dengan wajah datarnya. Kalau orang sadar dia sudah seperti zombi di bawah guyuran hujan itu. Jalannya terkesan diseret dan dia lesu seperti sayur yang sudah tidak segar.

Penolakan Fifi masih menusuk hatinya dan menebus di dadanya. Merasa apa yang terjadi hari ini adalah mimpi, tidak mungkin gadis itu menolaknya. Dia pentolan sekolah, dia tampan, dia keren dan mereka sudah saling mengenal sejak lama. Apa kurangnya dia? Apa alasan dirinya di tolak dan kalah telak dari si pembalap penjudi itu?

Di antara derasnya suara hujan menimpa dirinya. Pikiran Wahyu kalut seperti benang kusut. Kesal, sedih, kecewa juga putus asa bercampur menjadi satu dan membuat perasaannya tidak enak. Menyatakan perasaanya, menunggu selama ini bukanlah penolakan yang dia inginkan. Dia menyukai gadis itu, bahkan mungkin sangat. Di saat yang bersamaan dia merasa tidak berguna juga kecewa pada dirinya sendiri.

'Kenapa? Kenapa lo tahan?'

Fifi benar, kenapa dia menahan perasananya selama ini? Untuk apa dia menunggu selama ini jika berujung dengan hasil yang sangat menyedihkan seperti ini? Wahyu sama sekali tidak mengerti dan itu sebabnya dia tidak akan menyalahkan siapapun di titik itu. Baru sadar selama ini dia laki-laki payah.

Juga pengecut.

Berhenti di tengah jalan Wahyu menyeka wajahnya, dia tidak akan mengakui jika dia menangis. Laki-laki tidak boleh menangis, betapa malunya jika itu terjadi. Namun, dia tidak akan mengelak bahwa benar hatinya sangat sakit. Dia menghela napas berat, terutama saat dirinya kembali teringat dia hampir saja menyatukan bibir mereka. Wahyu hilang kendali.

Dan dia benar-benar menyesali itu.

"Sialan! Sialan! Sialan!" umpatnya marah. Beruntung hujan deras bukan makin. Setidaknya itu menutupi teriakannya yang cukup keras. "Apa yang udah gue lakuin!"

Wahyu masih berjalan tanpa arah, cuman beberapa meter, dia kemudian menemukan satu tujuan untuk perjalanan kesedihannya itu. Sebuah warung kecil yang sudah menjadi tempat tongkrongannya selama ini. Dan lagipula dia juga melihat seseorang yang tidak asing tengah duduk penuh gelak tawa di sana.

Dia menghela napas, menaikan rambutnya yang basah ke atas dengan jemarinya. Penampilannya kini agak sedikit berbeda, masih tampan tapi penuh dengan amarah. Wahyu mendekat menerobos hujan, berniat mendekat tanpa menarik perhatian tapi sepertinya dia gagal.

"Wahyu? Ngapain lo hujan-hujanan?" sapa Rizal.

Pendy di sebelah tengah mengangkat gelas kopi menoleh saat Wahyu tepat di belakangnya dengan keadaan yang jelas acak-acakan. Belum sempat memberi salam, kopinya lebih dulu direbut dan diteguk oleh pentolan sekolah. Untungnya itu bukan kopi yang baru di buat. Keadaanya sudah setengah di minum, jadi suhunya hangat. Tapi itu jadi alasan untuk meneguknya sampai habis.

Akmal di kursi sebrang melihat aksi itu dengan melongo. Berhenti mengunyah saat gorengan ada di mulutnya. Berpikir Wahyu gila meneguk kopi panas-panas seperti sedang debus.

Satu yang ada di pikiran mereka. Ada apa dengan pentolan sekolah?

Wahyu meletakan kembali gelas yang menyisakan ampas kopi di sana. Ngos-ngosan penuh amarah di wajahnya.

"Habis darimana lo?" tanya Pendy sensi. Dia melirik gelasnya yang sudah kosong. "Haus kayanya habis hujan-hujanan."

Rizal menyikutnya, tapi Pendy agak merengut, masih kesal soal kopinya. Akmal ikut menyahut. "Kaya habis diapain aja lo, Yu. Kacau banget."

How To Get You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang