Satu

213 8 0
                                    

Gita terbangun dengan sebuah tangan memeluknya defensif. Kemudian berusaha dia lepaskan.

"Aku baru tidur sejam yang lalu plis" tolak seseorang dari belakang dengan suara khas mengantuk. Kemudian pelukan itu semakin erat, tidak peduli.

"Aku harus ngantor"

Farrel menggeleng diantara riap-riap rambut panjangnya. Mungkin pria itu sengaja ingin memainkannya saja.

"Ambil cuti lagi aja, bilang ke Devan kalau aku sakit jadi ngga bisa ditinggal"

"Aku ngga mau kualat!"

"Kan aku yang sakit, kamu sehat-sehat aja"

"Sampah banget sih pagi-pagi"

Gita menggeliat, mengubah posisi jadi penghadap seseorang yang menjadi suaminya sejak dua minggu lalu. Satu hal yang baru dia tahu dari cowok ini. Bahwa Farrel akan betah menempelinya kemana-mana kalau keinginannya tidak dituruti.

"Aku baru pulang bukannya disambut malah ditinggal kabur..."

Diberinya pria itu satu ciuman.

"Ya kamu baru pulang makanya istirahat, tidur! Aku kan kudu kerja, aku butuh makan, situ sih enak bisa kerja semaunya, tiba-tiba ngga masuk juga ngga ada yang ngomelin"

Farrel bergerak menatapnya lekat. Harus diakui dia juga kangen pria ini. Padahal cuma ngga ketemu tiga hari, dan mereka masih bisa telfon atau video call, tapi tetap saja rasanya beda kalau ngga ketemu langsung. Kemarin dirinya hampir marah-marah waktu cowok ini mengatakan kemungkinan belum bisa pulang karena klien-nya masih butuh diyakinkan soal kerja sama yang diajukan. Apa sih, padahal kalau nggak tertarik tinggal ditolak aja, kenapa bertele-tele sekali.

"Jahat banget ngomongnya. Kamu belum ketemu Arikh, nanti deh aku kenalin biar tahu kalau ada cowok super nyebelin modelan sepupuku itu"

"Noted, jangan lupa dikenalin yah" serunya sambil meninggalkan satu kecupan di pipi kiri Farrel. Kemudian Gita bangkit, mengecek ponsel lalu mengikat rambutnya asal.

"Nanti pulangnya ku jemput, kita jadi ke tempat Mama kan?"

Tanpa bersuara, Gita hanya membuat 'ok' dengan jari sambil melenggang ke kamar mandi. 

*** 

Gita tidak tahu ini hanya perasaannya saja atau hari ini Mama memang lebih diam dari biasanya. Mereka baru sampai menjelang makan malam jadi tidak banyak yang bisa dia bantu lakukan. Bi Ida sudah hampir selesai memasak dan Mama tengah menata meja makan. Ia hanya membantu sebisanya, memindahkan makanan ke piring-piring besar atau mangkuk, kemudian menyusul Mama ke area tempat makan. Walaupun dirinya tidak bisa masak, maksudnya tidak jago ala-ala chef profesional atau seperti Bu Salma dan mamanya. Asalkan sudah disiapkan bumbu beserta takarannya, di bribik langkah-langkahnya, mencampurkannya ke penggorengan atau panci bukan hal yang sulit. Apalagi dengan kemampuan menghafalnya yang tidak bisa dibilang biasa.

"Buruan nyuci piringnya!" seru seseorang lembut setelah menggigit bagian pundaknya kemudian meletakan dagu disana.

"Pantes ngga selesai-selesai nyucinya sambil ngelamun, mikirin apa sih? Aku loh udah disini..." tambahnya.

Dipercikannya sisa-sisa air di tangan ke wajah Farrel. Membuat pria itu menyembur lalu misuh-misuh.

"Sagita itukan... kotor!!"

"Bersih, Sayang. Minggir dulu makanya, jadi makin lama kalau kamu nempel kaya koala gini"

"Kalau ngga aku tempelin, kamu bakal kabur lagi. Lagian Bi Ida kemana sih?"

"Bi Ida kakinya sakit, kayaknya asam uratnya kambuh jadi aku suruh istirahat aja, lagian..."

"Trus Mama?"

Gita menelengkan kepala menatap suaminya, "Mau dikutuk kamu jadi batu?"

"Yee biasanya Mama juga nyuci-nyuci piring, ngelap-ngelap dapur, nyiram taneman, ikut nyuci mobil..." jelasnya melepas pelukan lalu menggulung lengan kaosnya keatas, menggesernya kemudian mengambil alih pekerjaan.

"Aku bisa loh kalau cuci piring doang."

"I know, tapi lama"

Iya sih.

"Aku juga bisa masak dikit-dikit, remember?"

"Ingat, lain kali masakin aku lagi yah?"

"Hm. Aku juga bisa nyuci mobil, cuma males aja, lagian kasihan abang-abang karyawan car wash kalau ngga ada kerjaan, nanti mereka ngga dapet penghasilan. Nanti deh ku cucikan mobil kamu!"

"Noted"

"Aku juga sebenernya bisa nyuci baju, nyetrika, ngepel. Kamu tahu kadang aku bantu Papa potong rumput, kadang juga diajakin kerja bakti di rumah. Mama bilang masakanku bukannya ngga enak, cuma kurang bumbu aja, so i miss you too" jelasnya merepel.

Farrel terbatuk lalu mendengus, dilapnya tangan yang basah kemudian pria itu menatapnya.

"Apa tadi? Aku ngga denger" tanyanya sambil memangkas jarak.

Dia juga kangen cowok ini.  Kalau Nila bilang masih manis-manisnya awal menikah. Heh, padahal siapa sih yang nggak tahu bagaimana sahabatnya itu di awal pernikahan. Tapi terserahlah, asal dia bahagia saja.

Farrel berdiri menjulang didepannya. Menyisakan ruang yang hanya tercipta saat sepasang jemari kaki mereka bertemu. Sebuah aroma yang tidak asing segera memenuhi kepalanya. Bukan wangi parfum yang biasa pria ini gunakan, hanya aroma sabun mandi yang sama dengan yang biasa dia gunakan juga. Tapi entah kenapa wanginya seperti menempeli Farrel lebih lama dan merusak panca indra. Pria itu mulai membungkuk demi menyejajarkan wajahnya, aroma lain membuat otaknya benar-benar mandek. Bibirnya berkedut membayangkan bagaimana agar wangi segar mint itu bisa dia rasakan juga. Pasti manis dan dingin, atau justru hangat. Pandangannya mulai kabur, diiringi wajah Farrel yang semakin dekat dan aroma manis dan segar itu seperti sedang di transfer padanya. Gita membuka mulutnya pelan.

"Khm!"

Gita hampir mencelat, kemudian dadanya bergemuruh. Seperti ada yang menabuh jantungnya ugal-ugalan. Sementara Farrel sudah berdiri di sisi kanan sambil meremas jemarinya.

Mama melirik jam dinding "Minggu depan Arikh mau pindah."

"Oh ya? Arikh belum cerita..."

"Mungkin belum."

Farrel mengangguk-angguk sambil menatap sekeliling. Agaknya pria ini juga salting.

"Kamu ngga mau pindah kesini juga?"

"Hm?"

Gita kaget bukan kepalang. Sepertinya Farrel juga.

"Belum kepikiran Mam"

"Ya makanya dipikirin mulai sekarang. Memang kamu mau setiap minggu bolak-balik Cawang kesini? Jangan mikirin enaknya aja, kamu juga harus ngerti prioritas, jangan iya-iya aja!"

Gita tercenung. Sepertinya ada yang salah dengan apa yang didengarnya. Atau Mama memang sedang menyindirnya? Tapi untuk apa?

***
Hi, ini cerita yang sangat mainstream tapi aku harap bisa tetep dinikmati, happy reading guys. Cerita ini juga ada aku post di platform lain ya
-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang