"Kak, lo hamil?"
Gita hampir tersedak minumannya sendiri. Nayla datang dari arah belakang dengan ponsel di tangannya. Sementara Papa tengah memperhatikannya sambil duduk di kursi kayu di ruang tengah. Kenapa tiba-tiba Nayla bertanya? Semenjak sampai, dirinya memang mual muntah parah dan seingatnya mereka sepakat kalau dirinya mabuk perjalanan.
"Kak?"
Dipandangnya Papa yang tengah menatapnya. Sebenarnya, bisa saja dirinya berbohong pada Papa dan adiknya. Tapi untuk apa?
Gita mengangguk, "Maafin Gita Pa!" serunya berjalan ke arah Papa kemudian menciumi tangan orang tuanya. Pria enam puluhan tahun itu hanya mengangguk sambil mengusap puncak kepalanya.
"Sejak kapan Kak? Ka Farrel..."
Dijawabnya Nayla dengan gelengan sambil tapi pandangannya menatap Papa, "Farrel nggak tahu. Nggak ada yang tahu..."
Saat Papa memeluknya, kedua mata yang sejak tadi merebak berubah jadi tangis. Untuk sementara tidak ada yang terjadi, sampai Papa melepaskan pelukannya.
"Maaf... Papa..."
Setetes air mata lolos dari mata tua Papanya. Harusnya dia yang minta maaf, bukan Papa. Karena dirinya mereka disini, meninggalkan Mama sendiri di sana. Karena keinginannya, mereka di sini. Di tempat yang sangat asing karena tidak ada yang dia kenal di tempat ini. Untuk apa yang sudah hancur dan dia tinggalkan. Untuk sesuatu yang akan terjadi di tempat yang sangat asing ini. Dia hanya berharap satu hal, pelan-pelan hidupnya membaik. Jika seorang ibu mendoakan anaknya mendapatkan ganti yang lebih baik, dirinya juga berdoa semoga anaknya akan memiliki hidup yang baik. Karena dia adalah seorang ibu, bukan?
***
Nayla mengajaknya bicara setelah makan siang, dan memastikan Papa benar-benar istirahat.
"Kak Farrel nge-DM gue. Dia nyariin kita..."
"Nay..." Gita menggeleng, "Jangan kasih tahu siapapun. Soal tempat ini, soal kehamilan gue."
Nayla meraih jemari tangan kiri dan menggenggamnya, "Terus rencana lo habis ini apa Kak?"
Gita menggeleng. Rencananya hanya pergi jauh dari Farrel dan segala hal yang membuatnya sakit berbulan-bulan lalu.
"Gue bisa kerja dulu sambil bantu..."
"Enggak Nay, elo tetep kuliah."
"Tapi lo hamil Kak, dan Papa? Gue nggak mungkin ninggalin elo sama..."
"Elo tetep harus kuliah. Gue punya tabungan, gue bisa cari kerja..."
Tiba-tiba Nayla memeluknya erat, lalu menangis disana.
"Gue benci banget sama Tante Sarah, gue benci Kak Farrel yang nggak bisa apa-apa, dan gue benci sama elo kenapa semuanya jadi begini Kak."
Mama Sarah. Entah apa dia berhak membencinya. Sedangkan dia adalah wanita yang melahirkan orang yang masih dia cintai hingga hari ini. Lalu Farrel, apa pria itu pantas dibenci sedangkan yang memaksa pergi adalah dirinya sendiri. Dibalasnya pelukan adiknya. Lelah sekali. Dunianya jungkir balik dalam waktu yang sangat singkat. Membuat segalanya hancur dan berantakan. Sudah sejak lama dia ingin berhenti. Sudah sejauh ini, bisakah dia istirahat sekarang?
Pelukannya semakin erat, sementara tangisnya semakin pelan. Tapi gemuruh dan sesak di dadanya semakin penuh.
"Gue kangen Mama Nay..."
***
Gita membuka mata dengan tidak mendapati siapapun di sampingnya. Rumahnya sepi, mungkin Papa masih di kamar. Atau sedang keluar dengan Nayla. Kemarin adiknya bilang mau mengajak Papa jalan-jalan pagi. Pelan, dia bangun kemudian duduk di sisi tempat tidur sambil menatap kehamilannya yang mulai mencolok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (Tamat)
Teen FictionEpiphany~sebuah momen dimana seseorang menyadari akan sesuatu yang berharga untuknya.