Sembilan Belas

41 3 0
                                    

Jumat malam Farrel langsung terbang ke Jakarta. Dia tidak pulang ke rumah melainkan ke rumah orang tua Gita di daerah Kemang hanya untuk kecewa karena rumah dua lantai itu sepi dan gelap. Hanya lampu teras dan jalanan yang menyala redup. Pintu gerbang yang hanya satu meter itu dikunci dua kali. Tukang ojek yang mengantarnya sudah pergi dan tidak ada siapapun disini. Farrel melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 03.20!
Kemudian dia berjalan ke satu-satunya minimarket 24 jam yang letaknya tidak jauh dari rumah Gita. Dia butuh kopi dan rokok. Setelah mendapatkannya, Farrel duduk di salah satu kursi besi didepan mini market. Dicobanya lagi menghubungi Gita dan Nayla bergantian. Siapa tahu kali ini terhubung. Tapi nyatanya tidak. Jarinya menggulir deretan kontak di ponselnya lalu dipilihnya satu nama. Persetan orang itu sedang tidur.

"Hmm..." suara di seberang terdengar malas.

"Gita hilang Go, gue nggak tahu dia dimana."

"Wait, Rel...khm!" sahabatnya berdehem.

"Gimana? Hilang?" kali ini suaranya terdengar lebih wajar.

"Sejak dua hari lalu nomornya di luar jangkauan. Rumahnya kosong, dan dia ngga bilang apapun..."

"Lo dimana sekarang?"

"Kemang."

"Oke, jangan kemana mana tunggu gue disitu!"

***

Nugo sampai setengah jam kemudian. Dibanding Nila, rumah Gita memang lebih dekat dengan sahabatnya ini. Dengan kaos putih dan jaket bomber cokelat dan celana pendek. Pria itu keluar mini market dengan dua cup minuman panas kemudian duduk di kursi di depannya.

"Jadi, lo udah nyari kemana aja?"

Farrel menggeleng, "Gue telfon Pakdhenya di Malang tapi dia bilang Gita nggak disana. Sementara Bu Sali bilang mereka pamit kesana."

"Ke temen-temennya? Ke Nila?"

"Gita cerita dia bilang mau pergi, mungkin ke Malang."

"Lo percaya?"

Lagi, pria itu menggeleng. Nila pasti tahu Gita ada dimana, minimal dia tahu sesuatu. Tapi jarak dan komunikasi via telfon membatasinya untuk memastikan apa sahabat Gita itu jujur atau tidak.
Nugo menghela nafas keras, kemudian menyesap kopinya.

"Sekarang istirahat dulu, nginep di tempat gue. Besok kita cari sama-sama."

"Kalau tahu bakal begini, dia nggak akan gue lepas Go" serunya putus asa.

"Iyah. Ayok."

***

Farrel gelisah di tempat tidur, otaknya aktif memikirkan dimana kira-kira Gita berada saat ini. Walaupun mereka bisa ada dimana saja, bukankah akan selalu ada tempat yang paling mungkin mereka tuju?

Lagi, dipandangnya nisan bertabur bunga yang sudah kering didepannya. Apa perempuan itu sempat kesini beberapa hari lalu. Jika Gita benar-benar pergi, bisakah dia meninggalkan Mamanya disini?

"Mama tahu Gita ada dimana?"

Sudah dia lakukan apapun untuk perempuan itu. Sudah dia turuti mau Gita bahkan untuk berpisah. Tapi kenapa dirinya justru ditinggal?

"Terima kasih ya Rel, udah nggak nyerah sama anak Mama. Minta tolong bantuin Mama jaga Gita ya, Nak."

Dia masih ingat air muka Mama saat mengatakannya di hari pernikahannya. Dan itu tidak membuatnya lebih baik.

"Maaf aku ngga bisa jagain Gita dengan baik, Ma. Maaf bikin anak Mama nggak bahagia selama ini."
Farrel tertunduk.

***

"Lo pasti tahu Gita dimana kan, La? Kasih tahu gue dia ada dimana pliss, i beg you Nila."

"Kalau dia ngga ada di Malang, gue nggak tahu dia sebenernya ada dimana, Rel."

Farrel mengusap wajah dan menyugar rambutnya kasar.

"Gue cuma pengin mastiin apa dia baik-baik aja, La" desaknya lagi.

Perempuan didepannya menghela nafas keras. Kemudian berkata dengan nada pelan.

"Rel, Gita memang cerita mau pergi. Tapi dia bilang ke gue mau ke Malang. I'm really sorry."

"Kalau ini bikin elo ngerasa impas, gue juga ngga bisa ngehubungin dia dari kemarin" tambahnya lagi.

Farrel menatap pemandangan dari balkon kamarnya di lantai dua. Dihisapnya rokok dalam satu tarikan panjang kemudian dihembuskannya keras. Entah apa Nila benar-benar tidak tahu atau ada yang disembunyikan. Jika benar, bagaimana mungkin Gita tidak mengatakan apapun. Bukankah selama ini mereka dekat? Sangat dekat malah.
Setelah dari makam mertuanya tadi pagi, pria itu pulang hanya untuk pergi lagi. Ke rumah sakit. Dari info yang dia dapat bahwa Nila masuk pagi. Ditunggunya sahabat Gita itu setelah selesai shift hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama.

"Gue nggak tahu, Gita ada dimana Rel."

Dihisapnya lagi rokok yang tinggal sepertiga. Terakhir dia menemui Vera, mantan teman satu kantor Gita. Tapi cewek itu juga sama tidak tahunya.

"Gue belum dapet kabar apa-apa semenjak dia resign."

Putus asa dengan teman-teman dan kenalan Gita, dia coba menghubungi teman-teman Nayla. Beberapa langsung membalas dan berhasil diajak bertemu tapi tidak ada yang tahu

Gw dngr dia dtwrin kuliah d Ausie.
Tp trakhr ktnya gak d ambl.
- Rachel F.

Gk prnh liat dia stlh lulus2an.
-Virgo S.

"Bukannya dia di Malang? Dia sempat bilang mau kerja dulu sebelum lanjut kuliah, ambil kursus-kursus dulu katanya."

Informasi dari Elsa membuatnya terpukul. Jika hal itu benar, apa kondisinya separah itu kah? Dua anak perempuan itu harus bekerja keras untuk orang tua dan mencari biaya kuliah. Dihelanya nafas panjang, hisapan terakhir batang ketiganya. Kemudian dia sempat menemui Dinda, tapi perempuan itu tidak banyak memberi informasi. Katanya, Gita sudah tidak pernah datang lagi untuk konsultasi.

"Kenapa nggak lo tanya alasannya, Din?"

Dinda tersenyum, "Gue kenal Gita dari SMP. Dia bakal cerita kalau dia emang butuh cerita. Gue nggak mau dia ngerasa gue maksa dia buat cerita. She's dying"

"Elo bilang dia nggak lagi baik-baik aja, kan?"

Perempuan dengan sneli lengan pendek didepannya mengangguk.

"Iya, tapi gue yakin dia ada bersama orang-orang yang selalu support dia, no matter what."

Farrel mengulang kalimat Dinda sekali lagi. Jadi, Gita tidak berpikir kalau selama ini dia memberi support?

"Dia sempet ke kantor nyariin elo. Gue pikir elo nggak bilang lagi di Bali, dia cuma nitip ini" kata Arikh menyerahkan kotak kecil berisi cincin nikahnya.

Farrel menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Milik Gita.

"Kebesaran yah? Jarimu kekecilan!" candanya saat mereka sepakat memilih sepasang cincin pernikahan. Salah satu alasan Gita hanya memakai benda itu di jari manis saat akad dan resepsi. Setelahnya perempuan itu lebih suka menjadikannya liontin.

"Bagus, aku suka."

"Tapi orang-orang mikirnya kamu belum nikah, Sayang!" Serunya sambil terus memeluknya dari belakang. Perempuan itu menciumnya di pipi.

"Gimana mereka mikir gitu kalau kamu nempel terus kaya lintah!"

"Arkh!" Teriaknya melempar puntung rokok ke taman samping rumah. Ditepuk-tepuknya dadanya yang sesak. Farrel berjalan cepat lalu membuka pintu kamar dan menemukan seseorang berdiri disana. Untuk beberapa saat dirinya hanya diam, sebelum memeluk perempuan itu erat dan menangis disana.

"Sakit banget, Mam..."

Mama sempat diam sebelum membalas pelukannya dan mengelus punggungnya pelan.

-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang