Dua Puluh Satu

54 2 0
                                    

Hampir setiap hari dia ke Kemang, ke makam mertuanya atau ke rumah orang tua Gita. Kadang dia bertemu Bu Sali yang sedang beres-beres, tapi lebih sering tidak menemukan siapapun dan pintu gerbang terkunci. Bu Sali sudah tahu kalau selama ini Gita dan keluarganya tidak di Malang, tapi perempuan hampir enam puluh tahun itu masih sering ke rumah Gita untuk bersih-bersih.
Farrel juga sudah jarang pulang ke rumah. Bulan lalu dia mengambil satu unit apartemen di kawasan Jakarta pusat. Hunian minimalis dengan dua kamar tidur itu jadi tempat yang nyaman saat ini. Awalnya Mamanya sempat protes, tapi lama-lama tidak banyak komentar, mungkin sadar kalau itu tidak ada gunanya sama sekali.

"Ya sudahlah, tapi Mama boleh nginep sini kapan aja kan?" tanyanya suatu hari.

"Boleh."

Keanehan itu terjadi lagi. Mereka baru selesai meeting untuk proyek pembangunan salah satu halte di kawasan Bekasi. Perutnya tidak nyaman sejak pagi, mungkin dirinya salah makan, atau masuk angin. Farrel sedang memilih makan siang lewat aplikasi online di hp-nya.

"Pempek enak kali yah Len, atau seblak seger banget tuh..." gerutunya yang langsung menarik perhatian beberapa orang yang masih tersisa di ruang meeting. Perempuan di depannya juga sama kagetnya.

"Ngomong sama saya Pak?"

"Hm" Farrel mengangguk, "Lo lagi pengin makan apa? Tapi jangan soto kemarin, baunya bikin gue pengin muntah!"

Kerutan di kening Helen makin rapat, "Bapak pesen aja yang Bapak mau. Saya bawa bekel" kalimatnya berubah formal.

"Oh ya? Kayaknya ngga ada kotak bekal kamu di pantri. Jangan telat makan, nanti kamu sakit..."

"Khm, Pak..."

Farrel menaikan kedua alisnya lalu menatap sekitar. Adri dan Putri tersenyum awkward. Tapi Farrel bodo amat.

"Gini Pak Farrel, makasih banget udah suka traktir saya tapi..." Helen terlihat gugup dan serba salah, "Saya sudah punya suami, sebentar lagi saya juga mau punya anak. Jadi..."

"Jadi? Saya juga nggak minta kamu jadi istri saya, saya cuma nanya kamu mau makan apa? Yang lain kalau mau ikutan juga boleh."

"Bapak nggak ada maksud apa-apa kan sama saya?"

"Ngaco! Saya kan juga sudah punya istri!" sewotnya tidak habis pikir. Kenapa perempuan ini bisa kepikiran hal aneh begitu. Kemudian dia segera merapikan barang-barang lalu pergi.

Awalnya Arikh diam dan tidak banyak berkomentar, tapi akhir-akhir ini sepupunya itu suka memprotesnya. Seperti malam ini saat keduanya pulang bersama. Mobilnya sedang mondok, jadi dirinya nebeng.

"Lo kenapa sih sama Helen? Gue denger gosip dari anak-anak."

"Gosip apa?" tanyanya lebih tertarik pada pemutar radio di mobil Arikh.

"Sikap lo aneh ke Helen. Jangan gitu dong Rel. Helen udah merit..."

"Gue tahu."

"Ya kalau tahu jangan begitu, anak-anak ngiranya lo ada affair sama Helen. Kurang-kurangin perhatian nggak jelas lo kayak kemarin itu, nawar-nawarin sama beliin makan begitu. Kenapa sih?"

"Nggak tahu, gue suka aja liat Helen belakangan ini."

"Maksud?"

"Nggak ada maksud apa-apa, gue cuma suka aja liat dia makannya lahap. Ngingetin gue sama seseorang..."

"Gita?"

"Hm" jawabnya.

Saat Arikh bilang Helen sangat jauh berbeda dari Gita, dia setuju. Dari segi fisik, cara mereka ngobrol, makanan kesukaan, semuanya berbeda. Semua terjadi begitu cepat belakangan ini. Jika dia pernah membelikan greentea latte dan redvelvet itu bukan karena dia tahu makanan atau minuman kesukaan Helen, bukan juga makanan favorit Gita. Sama dengannya, Gita lebih suka kopi pahit seperti americano. Tapi entah kenapa waktu dia sedang memilih menu makanan, dirinya teringat Gita dan langsung membelinya.

"Gue minta tolong anak-anak di Malang buat bantu nyari, siapa tahu dia balik ke sana akhirnya" kata Arikh sambil menatapnya, kemudian kembali fokus dengan jalanan.

"Gue nggak yakin dia emang di sana, tapi gue nggak kepikiran dia dimana."

"Nomornya masih nggak aktif?"

Farrel menggeleng, "nomor telfon, akun sosial media, temen-temennya bahkan temen-temen Nayla ngga ada yang tahu mereka kemana."

"Gita sempet cerita pengin kemana atau tinggal di mana?"

Farrel mendengus, mengingat perempuan itu bisa ada dimana saja. Kadang dalam satu kali obrolan Gita bisa menyatakan ingin tinggal di Yogya hanya untuk berakhir di Dieng.

"Yogya panas banget, ramenya ngalah-ngalahin Jakarta. Hmm, kayaknya Bandung oke. Dingin. Tapi nggak... Dieng lebih dingin, eh tergantung deng. Enakan tinggal di rumah, tapi Mama kadang nyebelinnya ngalah-ngalahin guru BP."

Saat mereka nonton film animasi tentang dunia bawah laut. Perempuan itu juga berpikir untuk tinggal di Nusa Tenggara sana.

"Enak yah, mereka kalau pengin ke pantai tinggal nyemplung. Nggak perlu tuh ribet bikin acara beach party mahal-mahal, pulang sekolah makan siang di belakang rumah pasti nikmat banget."

"Yah, kan kamu mikir enak-enaknya aja. Risiko tinggal di pantai juga banyak. Badai, tsunami, erosi pantai, long..."

"Ah nggak asik kamu, mikirnya negatif terus" celetuknya mengangkat kepala yang sejak tadi nyender di bahunya. Gita tidak banyak bicara lagi karena fokus menonton dan memonopoli popcorn dan minumannya.

***
Chiba, 24 Agustus.
"Non coffee" Yola meletakan satu cup strowberry smoothies dan sepotong cheese cake ke depannya. Sementara di tangan perempuan itu ada es americano segar yang tampak menggoda.

"Ada batas kafein yang boleh aku minum Kak" gerutunya.

"No, kalau lagi jalan sama aku kamu nggak boleh minum kopi. Sama sekali."

Namanya Yola. Sejak kejadian di halte Kamogawa dulu, keduanya jadi sering bertemu. Kebetulan saat itu mereka sedang ada acara di Chiba. Perempuan berhijab itu mengatakan bahwa mereka memang sering jalan-jalan ke tempat yang hanya dua jal dari pusat kota Tokyo. Mungkin karena kota ini terkenal ramah muslim. Sebelum pindah ke Tokyo, Yola pernah bekerja di Chiba Islamic Cultural Center yang mengurusi peoses sertifikasi halal berbagai produk.

"Semalam Nayla telfon, sibuk apa sih dia?"

Gita tersenyum, "Part time Kak, tapi kewalahan sendiri."

Dulu, dia berpikir bahwa berada di tempat yang baru dengan orang-orang baru dirinya akan baik-baik saja. Dia berpikir, dengan pindah ke kota ini dia tidak akan berhubungan lagi dengan masa lalunya, siapa yang akan peduli padanya di tempat asing begini? Tapi pikirannya salah besar. Dia tetap butuh seseorang untuk bercerita, memvalidasi setiap pilihan yang dia buat. Dulu dia berpikir, tidak bertemu dengan orang yang 'mengenalnya' akan lebih baik, tapi dirinya salah. Karena sejatinya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan pernah bisa hidup mandiri.

"Nanti aku ke rumah yah, pengin liat Oom jalan. Suamiku girang banget liatnya semalam..."

"Boleh, Papa juga pasti seneng ketemu Kak Yola lagi."

Terapi Papa sudah menunjukan hasil. Pelan-pelan Papa bisa berdiri dan berjalan walaupun baru langkah-langkah kecil. Gita tahu Papa bekerja keras untuk ini. Selain itu, Kak Yola dan suaminya juga banyak membantu.

Dilahapnya potongan terakhir cheese cake-nya. Akhir-akhir ini nafsu makannya naik, tapi dokter bilang tetap harus dikontrol. Seperti magic, memasuki trimester dua, mual dan muntahnya hilang, nafsu makannya juga membaik. Bahkan dia bisa santai makan tanpa berpikir kalau sebentar lagi makanan itu akan berubah jadi bentuk yang menjijikan.

Dan momen paling bahagia sekaligus haru adalah saat makhluk kecil dalam perutnya ini bergerak, menendang, atau berputar didalam sana. Kadang dia merasakannya saat tidur, saat makan makanan manis seperti hari ini, dan saat dia mengajak calon bayinya ngobrol tentang banyak hal. Tentang bunga sakura yang mulai berguguran, tentang hawa yang mulai dingin, tentang lagu yang dia suka tapi tidak tahu artinya. Diusapnya perutnya pelan, dan berkata dalam hati.

"Terima kasih udah selalu nemenin Mama. I love you, my dear."

-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang