Dua Puluh Dua

46 4 0
                                    

Farrel berjalan santai di sepanjang jalur pejalan kaki di Braga. Di sebelahnya, Alfa berjalan terburu-buru sambil menggenggam ibu jari tangan kirinya erat. Lima menit lalu dia bertanya pada bocah yang hampir tiga tahun ini, dan dengan girang dia menjawab mau jalan kaki saja. Tapi yang dia temukan adalah wajah lelah, semangatnya cepat sekali menguap. Rambut panjangnya basah karena keringat dan pipinya mulai merah.

"Mau Oom gendong aja?" tawarnya saat untuk kesekian kalinya anak kecil itu berdiri lalu menunduk memandangi ujung-ujung sepatunya.

"Sebentar lagi sampai, sini sama Oom..."

Kemudian diangkat lalu digendongnya keponakannya yang langsung melingkarkan kedua tangan di lehernya.

"Masih jauh?" tanyanya dengan bibir dikerucutkan. Pikirnya lucu?

"Hmm, bentar lagi. Tapi kalau Alfa jalan lumayan lama, jadi Oom gendong aja. Oke?"

Anak kecil itu mengangguk kemudian menyandarkan kepalanya.

"Mau es?"

"Mau..."

Rania pamit ke Grey Art Gallery sejam yang lalu dan meninggalkannya berdua dengan Alfa yang diklaim tidak akan bangun sampai perempuan itu pulang. Mana? Baru setengah jam lewat, bocah tiga puluh bulan itu merengek dan menangis mencari Papa-Mamanya. Padahal dia baru sampai tadi Subuh dan baru tidur kurang dari dua jam. Arikh ada workshop di salah satu komunitas di kawasan Balai Kota. Daripada moodnya terjun bebas dengan mempertemukan Ayah dan anak yang jaraknya terlalu jauh, lebih baik dia kirim bocah mini ini ke ibunya yang sebelum pergi sempat menggerutu karena suaminya justru kerja saat liburan. Women will be women.

Farrel selesai mengirim pesan ke Rania, memberitahu lokasinya kemudian duduk di salah satu bangku besi di kawasan pedestrian. Kakinya mulai kram dan perutnya begah. Dia butuh istirahat jika tidak mau muntah di tengah jalan. Alfa tidak seberat Malikha, anak Nugo atau Arjuna. Tapi entah kenapa menggendongnya sebentar menghabiskan banyak energinya.

Ada yang aneh darinya sejak beberapa bulan terakhir. Mamanya yang pertama merasa aneh saat mendapatinya jadi banyak makan makanan manis, pedas dan asam. Sejak kecil dirinya tidak terlalu suka makan pedas, karena itu dia sempat diare seharian.

"Makanmu ngawur Kak. Sejak kapan sih makan pedes asem begitu?" tanyanya saat menemukan sisa asinan di kulkas apartemennya beberapa bulan lalu. Bukan dia yang sengaja beli, tapi Bu Ani yang cerita kalau istri satpam lobi sedang acara tujuh bulanan anak keduanya.

"Tujuh bulanan kan biasanya rujak, bukan asinan Kak! Stress sih boleh aja, tapi makanmu tetep harus di jaga. Kalau begini siapa yang rugi?" Omelnya sambil menyurukan dua butir obat diare dan segelas air mineral.

Kali lain, dirinya jadi sangat kangen dengan Mamanya dan bela-belain pulang ke rumah jam dua pagi hanya untuk tidur dipeluk Mama. Papa hanya bisa pasrah saat anak satu-satunya itu memonopoli istrinya.

Ini adalah cerita lain dari perhatian berlebihan pada teman kantor yang pernah disinggung Arikh. Walaupun hal itu sudah tidak dia lakukan, tapi diam-diam dirinya masih suka memperhatikan perempuan dengan perut buncit yang saat ini sedang cuti melahirkan itu.

Tunggu, Helen hamil?

Kedua alis Farrel bertaut. Ditatapnya keponakannya yang tengah melahap es krim yang meluber ke jari-jari minimalisnya.

***

Farrel menatap sosok yang berjongkok membelakanginya. Rambutnya diikat asal dengan anak rambut berantakan yang bergerak diterpa angin lembut di sekitarnya. Sudah berapa lamakah dirinya mengharapkan waktu ini? Sudah berapa kali dia berdoa untuk momen ini? Jadi, kemanakah perempuan ini selama ini? Kenapa tidak pernah datang bahkan dalam mimpi sekalipun. Apa dia benar-benar dilupakan.

"Sagita..." panggilnya pelan.

Perempuan didepannya bangkit kemudian berbalik menatapnya.

"Sagita" katanya lagi sambil mendekat, tapi perempuan itu bergerak mundur.

"Keep away, Rel. Tetap disitu..."

Perempuan itu menatapnya tanpa minat. Dari terakhir yang dia ingat, Gita yang ini tampak lebih kurus. Apa yang terjadi padanya selama ini. Air mukanya masih sama. Seperti perempuan ini kehilangan segala hal. Tentu, bukankah hidupnya berantakan?

"Jangan kesini lagi, Rel."

"No, Gita..." tolaknya semakin mendekat.

"Tolong Rel. Biarin aku menjalani hidupku yang sekarang. Setelah apa yang terjadi selama ini, aku cuma pengin bahagia..."

Tanpa peduli, dipangkasnya jarak antara dirinyan perempuan ini. Lalu ditenggelamkannya Gita dalam pelukannya. Setiap hari dia datang berharap untul momen ini. Gita tidak akan meninggalkan Mamanya, dia pasti datang. Suatu hari dia pasti kembali. Dan hari itu adalah sekarang, saat ini.

"Aku bisa lakuin apapun asal jangan pergi lagi, Gita. Hidupku kacau waktu aku nggak tahu kamu dimana" serunya pelan, tapi pelukannya semakin erat.

"Aku nggak bisa sama kamu..." tangisnya dengan suara teredam.

Farrel mengangguk, "Nggak pa-pa. Asal jangan pergi, kamu boleh benci aku asal jangan kemana-mana Gita, tolong."

Tidak apa-apa jika perempuan ini tidak bisa bersamanya lagi. Asal jangan hilang. Tidak apa-apa Gita membencinya berkali-kali, karena dia memang pantas dibenci. Asal jangan pergi. Karena tidak menemukan Gita dimana-mana lebih menghancurkan daripada menerima kenyataan bahwa mereka tidak lagi bisa bersama.
***

Farrel membuka mata dan merasakan pipinya basah. Ditatapnya sekeliling hanya untuk meyakinkan kalau apa yang terjadi barusan adalah mimpi. Mimpi yang tidak membuatnya lega, justru memperparah rasa sakitnya. Farrel mengerjap kemudian meraih ponselnya dari saku celana. Pukul 23.15.

"Kamu dimana Gita..." lirihnya sambil memejamkan mata.

***

Chiba, 12 November.
Gita menatap pemandangan didepannya dengan perasaan campur aduk. Papa dan Yola bergantian menggendong bayinya. Yah, sejak pagi ketubannya rembes dan kontraksi yang dia rasakan semakin kuat. Padahal dokter memperkirakan bayinya lahir sekitar tiga minggu lagi. Dan lagi-lagi, dia harus bergantung pada Yola yang memang dalam perjalanan untuk acara amal di sekitar Chiba Islamic Cultural Center. Perempuan itu langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta suaminya menyusul.

Jika hal itu belum cukup, maka apa yang di saksikannya beberapa waktu lalu sungguh membuatnya bimbang. Saat Adit meminta izin untuk mengadzani putranya.

"Kalau boleh Git..."

Apa yang lebih sakit saat harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang seharusnya melakukan itu tidak ada. Dulu, dia berjanji pada sesuatu yang tumbuh di rahimnya. Bahwa apapun yang terjadi, dia akan membuatnya bahagia. Tapi, apa yang dia lakukan di hari pertama putranya ada di dunia.

Gita mengangguk, sambil meremas kedua tangannya.

"Nggak pa-pa Git, semuanya akan baik-baik aja mulai sekarang" Yola bicara sambil memeluknya.

Dalam pelukan Yola, dilihatnya Papa yang tengah menatapnya. Bertambah lagi satu orang yang dia ikut sertakan pada keputusan egoisnya. Selain Papa dan Nayla, sekarang ada putranya.

"Maafin aku Pa."

***

Seorang teman bilang, menjalani sebuah pilihan lebih sulit dari memilih sebuah pilihan. Karena didalamnya ada tanggung jawab, jika bukan pada orang lain, maka ia adalah pada diri sendiri.
-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang