Dua Puluh Tujuh

44 4 0
                                    

Pukul 18.50!
Gita pamit ke Papa kalau dirinya dan Skala akan keluar sebentar. Skala bosan di kamar dan daripada mengganggu istirahat Papanya, akan lebih baik kalau bocah ini dia bawa jalan-jalan sebentar. Kebetulan ada wahana baru yang sedang hits di salah satu mall dekat dirinya menginap. Sebelumnya dia sudah mengirim pesan ke Nayla.

Gw d Spark.
Skala bsn, pgn jln2
-Sagita.

Ok. Papa?
-Nayla.

D kmr. Ksihan.Gk bs tdr
D ggu Skala trs,
gw dh ijn.
-Sagita.

Sip. Kelar ini gw kbrn.
-Nayla

Tidak butuh waktu lama, keduanya sudah sampai dan sedang menyelesaikan pembayaran. Dipastikannya pakaian dan sepatu putranya aman sambil berjongkok agar tinggi mereka sejajar.

"Mainnya nggak lama ya Nak, kasihan Akung sendirian di kamar."

Skala mengangguk kemudian menariknya mencoba wahana pertama. Padahal kemarin putranya merengek minta pulang, tapi disogok ke makam Mama dan jalan-jalan dia sudah lupa segalanya. Ada rasa bungah yang dia rasakan ketika melihat putranya sebahagia ini berinteraksi dengan teman-temannya. Awalnya dia tidak mau melepaskannya saat mencoba wahana perosotan dan mandi bola, tapi liat sekarang? Bayi tiga tahun itu bahkan dengan sok tahunya tengah mengajari rakyat-rakyatnya mengumpulkan bola dan bermain fokus di interactive sand playground. Memastikan putranya aman, Gita undur diri sebentar. Tenaganya tidak sebanding dengan putranya yang sedang aktif-aktifnya.

"Mama!" teriaknya menunjukan media untuk melukis, meminta persetujan.

"Boleh" jawabnya pelan sambil memberikan tanda 'ok' dengan jari.

Kemudian putranya kembali sibuk dengan teman-teman dan dunianya. Tapi dirinya justru lupa dengan dunianya sendiri. Bahwa ini bukan Chiba yang walaupun belum aman, tapi peluang bertemu orang-orang di masa lalunya lebih kecil. Dia lupa bahwa ini adalah kota yang sama dengan kota yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Gita sudah mempersiapkan, tapi saat dirinya berbalik dan mendapati seseorang berdiri disana apa yang dia persiapkan ternyata sia-sia.

"Yah, it must be you, Sagita."

***

Farrel berhenti sambil mengatur nafasnya. Ini bukan salah minus di matanya yang bertambah. Tapi perempuan ini memang Gita. Gita-nya yang tidak bisa dia temukan bertahun-tahun. Satu-satunya yang tidak bisa hilang dari hati dan pikirannya selama ini. Yang Arikh meragukan bahwa dia akan kembali, dan keraguan itu sempat menular. Gita yang hanya sekali hadir dalam mimpinya yang paling buruk tapi sayangnya dia bahagia. Setidaknya satu kali dalam penantiannya dia melihat perempuan ini meski tidak nyata.

"Yah, it must be you, Sagita" serunya pelan.
Farrel baru akan mendekat dan memangkas jarak tapi seseorang datang dari arah belakang dan menarik tangan Gita.

"Mama look. Gambalku bagus kaya Mama!"

Mama?
Farrel berhenti bergerak, dan pandangannya beralih pada anak kecil yang berusaha menunjukan karyanya pada perempuan didepannya. Kemudian kalimat Arikh beberapa saat lalu berputar di kepala.

"...Gue tahu perasaan elo mungkin masih sama, tapi Gita? Elo yakin posisi elo dan perasaannya masih sama? Dia yang memilih pergi dan memutus semua hal tentang elo Rel..."

Mama?
Satu kata itu membekukan dan meruntuhkan keberaniannya. Kenapa dia bisa tidak berpikir bahwa apa yang dibilang Arikh mungkin saja terjadi. Hidupnya mungkin berhenti sejak empat tahun lalu, tapi hidup Gita tetap berjalan. Dan mungkin baik-baik saja, atau lebih baik. Apapun bisa terjadi, bukan.

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang