Tiga Belas

40 3 0
                                    

Cerita ini akan update setiap hari sampai tamat. Semoga temen-temen menikmati dan jadi hiburan. Kalau ada kritik, saran dan masukan aku makasii banget karena setelah sekian lama akhirnya aku bisa nulis lagi. Maap prolog-nya panjang.
With love
-Munn

***

Mama bntr lg smpe y Ka
Naik ojk, biar cpt
-Mama

Oke Ma, hati2 djln
-Sagita


Farrel menyusul setelah membereskan barang-barang Papa dan memasukannya ke mobil.

"Masih lama?"

Gita menggeleng sambil menunjuk nomor antrian di monitor kertas kecil di tangannya. Dia ingat Papa sendirian di kamar. Kalau ini akan memakan waktu lama, dia butuh seseorang untuk membantu jika perempuan itu kerepotan.

"Mama mau nyusul? Kenapa ngga nunggu di rumah aja sih? Kasihan bolak-balik nanti" gumamnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana.

"Mau langsung pulang atau mampir kemana dulu?" tanya pria itu lagi tanpa memalingkan wajah dari layar ponselnya.

"Pulang aja."

"Oke."

Selama ini, kerjaan Farrel yang lebih fleksibel memang. Katanya kerjaannya itu cuma ada dua pilihan, santai sekali atau sibuk sekali. Padahal sebelumnya dia bilang pilihannya sibuk atau sibuk sekali. Tapi minggu ini memang suaminya terlihat sangat santai. Sementara dirinya mulai tidak enak karena terlalu sering ambil cuti dadakan. Walaupun Mas Bayu jelas tahu kepentingannya memang tidak dibuat-buat. Tapi tetap saja, timnya pasti kewalahan karena dirinya tidak banyak membantu. Selesai melunasi biaya perawatan dan melakukan administrasi keduanya berjalan kembali menuju kamar ranap Papanya. Tapi baru beberapa langkah, ponselnya berbunyi, telfon dari Mama.

"Iya Ma, udah..." sapanya begitu menggeser tombol warna hijau.

"Ini benar keluarga Ibu Amara. Kami dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa..."

Seperti ada yang berdengung kencang di telinganya. Suara di seberang berangsur lirih sampai dia tidak sadar ponselnya sudah berpindah tangan, ke Farrel.

Mama kecelakaan dan sedang menuju ke IGD rumah sakit ini!

Tiba-tiba dadanya sesak dan nafasnya memburu. Kepalanya pening.

"Hey atur nafasnya dulu, tenang Gita..." katanya sambil memeluknya.

***

"... atas nama Amara meninggal pada pukul 13.24. Kami turut berduka ya Pak, Bu."

Gita berhampur ke ruang bedah minor, menyibak petugas yang tadi mengerumuni Mamanya.

"Ma..."

Diguncangkannya tubuh Mamanya yang hanya diam. Ada bekas darah di bagian kepala, kedua tangan dan kakinya. Bahkan perban yang menempel di lengan tangannya sedikit rembes.

"Mama..."

Gita terduduk lemas dengan tangannya masih menggenggam tangan kanan Mamanya. Diciuminya tangan yang masih hangat itu, dipeluknya kemudian diciuminya lagi.

***

Farrel menggenggam kedua tangan Gita yang dingin. Sedang perempuan dalam pelukannya ini masih diam. Beberapa waktu lalu dirinya sudah menghubungi Bu Sali dan suaminya untuk menyusul. Farrel juga menelfon Pakdhe Gita yang ada di Malang. Dan terakhir dia menghubungi Nayla, adik iparnya.

Setelah menjelaskan kondisi Mama mertuanya pada Papa yang saat itu hanya diam-syok-diantarnya pria dengan kursi roda untuk melihat jenazah Mama mertuanya yang saat itu sedang dibersihkan oleh petugas.

Tidak begitu lama, Nayla datang bersama suami Bu Sali yang langsung menemukannya dan bergabung dengan Papanya. Betapa pemandangan didepannya sangat menyayat hati. Kemudian pandangannya beralih pada Gita, istrinya yang juga tengah duduk di salah satu bangku di lobi dalam IGD.

Dia mengerti bahwa setiap kehilangan pasti menyakitkan. Apalagi kepergian seseorang yang sangat berarti di hidupnya.

Ada rindu yang tidak bisa tuntas oleh temu. Yaitu rindu pada orang-orang yang telah tiada. Mereka paham bahwa cara paling baik membayar rindu adalah dengan doa. Setiap doa akan berkumpul di langit untuk kemudian turun kembali jadi dua hal, terkabul atau mengikhlaskan. Tapi perihal ikhlas, tidak bisa didapatkan dengan cara yang mudah. Butuh waktu yang lama, juga hati yang lapang.
Farrel berjalan menuju tempat duduk istrinya kemudian dipeluknya lagi perempuan yang tengah kehilangan itu.

"Aku pengin pulang, Rel" seru Gita pelan dalam pelukannya dan menangis disana.

***

"Aku ambil air minum dulu ya Pa" pamitnya setelah membantu Papa kembali ke kamarnya.

Papa mengangguk. Lalu dia turun ke lantai satu. Masih banyak pelayat di sana, ada keluarga Papa mertuanya yang datang dari Bekasi dan Bandung, beberapa dia kenal selebihnya dia hanya ingat karena wajahnya yang familier. Keluarga Mama dari Malang baru sampai saat jenazah Mama mau dimakamkan. Sejak tadi dia tidak melihat Nayla, mungkin adiknya itu sedang istirahat, sama seperti istrinya. Farrel melirik jam tangannya.

"Sabar ya, bro."

Nugo meremas bahu kirinya menguatkan, kemudian pandangannya berkeliling seperti mencari sesuatu, atau seseorang.

"Nyokap-Bokap lo?"

"Baru pulang, elo sendiri?"

"Sama Nathan. Dia di depan sama Vania, gue liat Nila naik."

Farrel mengangguk. Nila pasti ke kamar sahabatnya.

"Gue ambil minum buat Papa dulu, Go. Bentar yah."

Sahabatnya itu mengangguk. Setelah memastikan Papa mertuanya minum obat dan istirahat, Farrel kembali ke lantai bawah. Beberapa saudara sempat berpamitan lewat chat dan telfon, dia sempat menawarkan untuk menginap tapi kebanyakan mereka bekerja esok hari. Beberapa pulang ke rumah masing-masing, beberapa yang lain sudah pesan tempat menginap, begitu juga keluarga dari Malang.

"Gue turut berduka ya, Rel."

"Thank's ya Va, Nila masih di atas?"

Pria dengan kemeja hitam itu mengangguk. Jika boleh jujur dia lelah sekali hari ini, beberapa hari kemarin dia harus bolak balik dari kantor ke rumah orang tuanya, malamnya ke rumah sakit, lalu ke Kemang. Dia khawatir dengan kondisi Gita, tapi harus ada yang mengambut tamu-tamu yang datang.

***

Pukul 22.23!
Teman-temannya pamit pulang. Dan rumah kembali sepi, juga dingin. Gita meringkuk di kasurnya menghadap jemdela yang tirainya terbuka. Farrel memutari satu sisi tempat tidur demi menatap perempuan yang tengah menangis disana. Makanannya di atas nakas masih utuh. Farrel menghela nafas lelah.

"Kamu mau makan sesuatu? Makan sedikit Gita, biar perutmu ke isi."

"Ini berlebihan kan? Papa bahkan belum sembuh..."
Satu lagi air mata mengalir saat kedua matan Gita memejam.

"Apa ini ngga keterlaluan..."

Dibimbingnya Gita duduk, lalu dipeluknya istrinya erat. Diusapnya punggung itu pelan. Dan tangisannya semakin menjadi.

"Kenapa harus Mamaku?" Teriaknya pelan.

Untuk waktu yang lama, keduanya tetap begitu. Saat Gita meluapkan emosinya dengan banyak kata 'kenapa', nyatanya dia tidak punya jawaban yang paling pas untuk di katakan. Toh dia tidak pinta jawaban yang pas untuk dikatakan. Setidaknya untuk saat ini. Jadi yang dia lakukan adalah diam, memastikan perempuan ini bahwa dirinya didengarkan. Dan pelukannya semakin erat, setiap tangisan gita mengeras.

Karena rindu pada seseorang yang telah tiada tidak akan pernah selesai.

***
Tidak ada perpisahan yang paling menyakitkan saat kita tahu, bahwa kita tidak akan bertemu lagi.
-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang