Dua Puluh Tiga

40 3 0
                                    

Farrel meringkuk di balik selimut sambil memeluk bantal. Badannya panas sejak semalam dan tenggorokannya sakit. Pada Bu Ani, yang biasa mengurus apartemennya dia minta tolong dibelikan obat, tapi sampai menjelang malam demamnya belum turun. Dia baru memutuskan akan ke rumah sakit saat seseorang menekan bel apartemennya. Mama.

"Kamu kalau sakit itu pulang ke rumah Kak, biar ada yang ngurusin. Udah minum obat?"

Farrel mengangguk. Peraturan pertama bicara dengan Mamanya adalah mendengar perempuan itu ngomel. Walaupun perhatian, Mama pasti akan mengomelinya dulu tentang ini dan itu. Jadi prinsipnya, jangan menyela sampai perempuan itu puas mengeluarkan apa yang ingin dia sampaikan. Cukup didengarkan jika tidak ingin kehilangan energi dengan sia-sia.

"Gayamu mau tinggal di sini, ngurus diri sendiri aja kerepotan" tambahnya memeriksa keningnya dengan punggung tangan.

"Jam berapa minum obatnya? Mau Mama masakin bubur?"

"Boleh."

Lalu Mama menghilang keluar kamar. Diliriknya jam di atas nakas, kemudian dirinya bangkit dan mulai bersih-bersih.

Mama membawa semangkok bubur nasi panas dan segelas air mineral lalu meletakannya di satu-satunya meja di ruang tengah. Farrel sudah suduk diatas lantai dalam posisi bersila. Cuma bubur nasi dengan bumbu kuah kaldu dan merica. Persis tekstur bubur ayam tapi lebih encer.

"Kamu kehujanan?"

"Mana ada hujan sih Mam" ralatnya, "Aku kecapean. Banyak yang harus diurusin kalau Arikh lagi di luar kota..."

"Malam ini Mama nginep, biar besok pagi Papamu jemput."

Farrel mengangguk sambil berusaha menghabiskan makanannya.

"Kamu ingat Olif, Kak?" tanya Mama selagi fokus pada ponsel ditangannya.

"Siapa Olif?"

"Yang temen SD-mu dulu. Cantik dia sekarang, kan dia model dan jadi bintang iklan gitu."

"Ohh, lupa" komentarnya tanpa minat.
Mama menghela nafas kemudian membenarkan duduknya di sandaran sofa.

"Trus kamu mau sampai kapan begini terus?"

"Maksudnya?"

"Ya begini, ngapa-ngapain sendiri. Kalau ada temennya kan Mama juga jadi tenang, Kak."

"Temenku banyak, Mam. Lagian aku nggak masalah begini" timpalnya berusaha menghindari topik yang dimaksud Mamanya.

"Mama kenalin ke anaknya temen Mama, mau?"

"Nggak usah, aku bisa nyari sendiri."

"Mau nyari kemana? Selama ini kamu nyari kemana-mana tetep nggak ketemu, makanya ini Mama bantu biar nemu."

Farrel mendengus tersenyum. Rasanya ada yang aneh dengan kalimat Mama barusan. Jelas ini bukan soal 'temen anak Mama' lagi.

"Nanti pasti ketemu, Mam. Cuma emang butuh waktu..." jawabnya sambil melirik Mama yang tengah menatapnya. Kemudian dihabiskannya minuman hangatnya.

***

Chiba, 12 September
Gita sempat khawatir tangisan bayinya mengganggu tetangga mengingat kontrakannya bersebelahan dengan pemilik dan mini market. Skala jadi rewel setelah imunisasi kemarin dan hari ini dirinya mulai kewalahan. Bayinya hanya mau diam saat digendong Papa, tapi Papanya juga butuh istirahat. Badannya sudah tidak terlalu panas, tapi kata dokter anti piretiknya boleh tetap diminum.

"Skala Sayang, udah dulu ya nangisnya. Nanti kamu capek, Nak. Nanti sama Akung lagi, tapi tunggu yah, Akungnya lagi istirahat dulu."

Digantinya posisi Skala jadi menghadap belakang dan bersandar di pundak. Biasanya dia tenang jika digendong begini.

"Sabar yaa, Nak. Nanti nggak sakit lagi, Sayang..." monolognya dimulai. Sambil ditepuk-tepuknya punggung putranya pelan.

Tapi hanya bertahan beberapa menit, karena Skala menggeliat dan kembali menangis.

"Sini, sama Papa Kak" seru Papa terbata yang baru keluar kamar dengan tongkat kakinya.

"Aku nggak tahu dia penginnya apa, Pa."

"Iya nggak apa, biar sama Papa dulu."

Diserahkannya putranya ke Papa sementara dia mengambil baby sling dan memasangnya.

"Maaf ya Pa, padahal Papa lagi istirahat."

"Nggak pa-pa, kamu kerjakan yang lain dulu. Biar Skala sama Papa."

Gita mengangguk, "Sambil duduk aja Pa, nanti Papa capek berdiri terus."

"Iya" jawab Papa sambil membenarkan gendongannya.

"Kalau butuh apa-apa, panggil aku ya Pa."

"Iya, Kak. Sudah sana..."

Gita menurut kemudian mulai beres-beres, sebelum menyelesaikan flyer charity event salah satu komunitas muslim di Chiba. Biasanya mereka melakukan kegiatan ini setiap tiga bulan dengan program yang berbeda-beda. Kali ini temanya adalah Chiba Carity Marathon dan festival makanan halal dari berbagai daerah. Mirip seperti car free day dan festival kuliner di Jakarta.

"Anak Akung kok nangis terus dari tadi, pengin digengong Akung yah, hm?"

Suara Papa terdengar sayup-sayup dari arah dapur, saat dia menuang ASI yang sudah hangat ke dalam feeding bottle berukuran sedang. Saat kembali, tangisan putranya sudah tidak sekeras tadi. Memang dia kangen Akungnya, padahal Papa tidak kemana-mana.

"Demamnya udah turun, Kak?"

Gita mengangguk sambil menyurukan dot ke mulut putranya yang langsung dihisap. Padahal dari tadi sudah dia lakukan hal serupa, tapi putranya tidak menggubris malah dot botolnya digigit dan air susunya disembur. Kadang mengurus Skala membuat kesabarannya benar-benar diuji.

Beberapa saat lalu, dokter Skala mengatakan kalau putranya mungkin mengalami speech delay pada bayi. Hal ini lebih umum ditemukan pada sekitar usia dua tahun, karena tandanya sudah jelas.

"Keep talking to your baby about anything like his story book, your family, your house, your or his cloth and many more. Keep doing your best Mom, gou're greates mother for your son."

"Nggak pa-pa, Git. Masih bisa dilatih pelan-pelan" kata Yola saat dia bercerita lewat telfon.

"Kenapa aku bisa nggak tahu sama sekali..."
Orang di seberang tidak langsung menanggapi. Mungkin menunggu kalimatnya lagi.

"Ini bukan salah siapa-siapa Git. Dokter bilang nggak pa-pa kan? Itu berarti memang nggak pa-pa."
"Git..." panggil suara di seberang, "Untuk jadi orang tua, media belajar kita bukan cuma soal buku dan teori-teori parenting, tapi anak-anak kita langsung. Dari mereka kita banyak belajar yang mungkin nggak dijelasin di buku atau sekolah parenting."

"Waktu mereka nggak berhenti nangis padahal kita udah mencoba banyak hal buat bikin dia nyaman, nggak berarti kita gagal memahami mereka. Waktu tiba-tiba mereka demam atau sakit padahal kita udah berusaha ngatur pola makan dan aktivitasnya diluar, bukan berarti kita gagal melindungi mereka. Itu yang namanya proses, dan ini memang akan memakan waktu yang lama, jadi selama itulah kita saling belajar. Asal kita nggak cepet nyerah, pasti akan ketemu solusinya" jelas Yola panjang lebar.

Andai dirinya berpikir sama seperti yang baru dia dengar. Andai orang-orang disekitarnya mendukung setiap keputusannya tanpa men-judge lebih dulu, apa semuanya akan lebih baik? Dia selalu ingin melakukan yang terbaik, tapi lagi-lagi usahanya tidak pernah berjalan dengan mudah.
Gita menatap putranya yang mulai tenang dan mengantuk. Pasti tidak nyaman dengan rasa sakit akibat vaksin kemarin. Pasti melelahkan karena menangis seharian tanpa orang lain tahu apa yang benar-benar dia inginkan. Diraihnya jemari tangan mungil putranya hanya untuk dia usap bagian punggung dengan ibu jarinya.

"Tidur dia" seru Papa kemudian berjalan pelan menuju sofa dan duduk di sana. Dilonggarkannya tali gendongannya. Bayi sepuluh bulan itu menggeliat, membuka matanya sebentar lalu tidur lagi.

-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang