Tiga Puluh

63 3 0
                                    

"Sehat Pa. Papa sehat?"

Pria didepannya mengangguk, "Sehat."

Dilihatnya Papa yang berkali-kali menatap Skala, sementara anak itu sudah masuk dalam dunianya. Fokus pada rubik di tangannya.

"Pa..."

"Nayla udah cerita. Papa juga liat kamu di Yoyogi kemarin" potongnya langsung.

"Harusnya aku nggak disini. Itu janjiku ke Nayla kemarin. Tapi aku pengin liat mereka..."

Lagi, pria ini mengangguk.

Kedua orang tua Gita sangat berbeda dengan Papa dan Mamanya. Jika bicara dengan Mama membutuhkan lebih banyak kesabaran dan menguras emosi, bicara dengan orang tua Gita lebih membuatnya tenang. Walaupun Papanya tidak banyak bicara dan ikut campur, tapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah titah.

"Tujuan kamu kesini buat apa, Nak?"

Sebelum bertemu Nayla dia memang punya tujuan. Dia ingin menemui Gita dan keluarganya dengan penuh keyakinan. Tapi melihat betapa kecewanya gadis itu, dirinya merasa tidak pantas.

Farrel menggeleng, "Aku nggak bisa jaga mereka dengan baik, Pa."

Papa diam sebentar sebelum menjawab, ditatapnya cucunya yang tengah asik dengan mainannya.

"Mungkin iya" Papa menatapnya lagi, "Kamu tahu Rel. Dua hal menakjubkan yang Gita lakukan dan itu membuat Papa bangga?"

Farrel diam, sepertinya ini bukan pertanyaan yang harus dijawab.

"Waktu dia bilang mau menikah, dan itu sama kamu. Untuk pertama kalinya Papa mendengar itu padahal sebelumnya dia bilang nggak siap. Dia berani ambil resiko itu. Dan yang kedua..."

Papa berhenti sebentar.

"Waktu dia memutuskan untuk berpisah dengan segala risiko yang juga nggak mudah. Dia bisa bertahan sampai sejauh ini."

"Papa hate me?" Tanyanya pelan.

"Papa memang kecewa, tapi Papa merasa nggak pantas melakukan itu. Nggak ada yang salah dengan memutuskan untuk berpisah, walaupun Papa juga nggak sepenuhnya setuju."

"Papa tahu kamu anak yang baik. Kalau ada di posisimu, belum tentu Papa bisa mengambil keputusan yang lebih baik. Kita nggak bicara siapa yang salah dan siapa yang lebih baik. Tapi sebagaimana Papa, orang tua kamu juga pasti pengin yang terbaik buat kamu."

Farrel diam, digigitnya bibir dalamnya berkali-kali. Pandanganya beralih pada putranya yang sempat menatapnya.

"Papa berterima kasih karena sudah mencintai putri Papa sebesar itu. Tapi setiap perasaan semestinya diberi batas agar kita tahu kapan waktunya berhenti atau kembali. Perasaanmu yang terlalu besar itu menyulitkan banyak orang. Kamu, kedua orang tuamu, bahkan anak Papa."

***

Farrel menghampiri Skala yang sudah menghabiskan chochopay dan setengah botol air mineralnya tapi masih belum selesai dengan rubik di tangannya.

"Buat Papa aja, aku gak suka!"

Disurukannya benda itu yang langsung dia terima. Diusapnya puncak kepala putranya.

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang