Tiga

80 4 0
                                    

Gita duduk gelisah sambil terus menatap pintu kamar operasi. Sudah satu jam sejak dia sampai dan hampir tiga jam dari operasi emergensi yang dijadwalkan. Ini keempat kalinya dia melihat pintu kamar operasi terbuka dan harus kecewa karena lagi-lagi bukan suaminya yang keluar.

Farrel mengiriminya chat yang mengatakan bahwa pria itu masuk rumah sakit dan memintanya untuk tetap tenang dan tidak panik. Setengah jam berikutnya suaminya menelfon yang mengabarkan bahwa dokter menyarankan untuk dilakukan operasi emergensi, karena usus buntunya yang meradang sudah hampir pecah. Selesai menerima telfon dirinya kembali ke ruang rapat bukan untuk melanjutkan meeting tapi untuk minta ijin kepada Devan, penanggung jawab di timnya dan Bayu selaku atasannya untuk pulang ke Jakarta lebih cepat. Setelah mendapat ijin, dia langsung lari ke penginapan sambil memesan tiket pulang paling cepat yang bisa dia jangkau.

Dua hari lalu pria itu memang bilang sedang tidak enak badan tapi tetep keukeuh mengantarnya ke bandara. Malam harinya tidak ada kabar, bahkan chat-nya belum dibalas yang diasumsikan Farrel mungkin sudah tidur. Esok paginya dia bilang sudah mendingan, cuma nyeri perut biasa, bahkan cowok itu sempat bekerja seperti biasa.

"Mungkin salah makan" Katanya saat itu. 

Siang harinya dia meninggalkan chat yang disusul sore hari menanyakan kabar tapi baru dibalas malam, menjelang dini hari.

Udah oke. Km udh mkan? Plang kpn si, aku kngen.
-Farrel V.

           Sabtu. Istrht, msh dtmpt Mama?
                                   -Sagita.

Yes. Mama bwel bgt😪
-Farrel V.

                                        💕Cpt smbuh syg
-Sagita.

Ku ssul k Sby blh? Kgen bgt, tp udh ngntuk. Aku tdr ya...
-Farrel V.

👍
-Sagita

***

"Bukannya kamu di Surabaya?"

Dia yakin pertanyaan Mama hanya basa basi, karena Farrel bilang Mama tahu dia di luar kota. Karena itu weekend ini pria itu menginap sendiri di rumahnya.

"Saya bisa jaga anak saya lebih baik dari kamu!"

Gita menelengkan kepala menatap mertuanya.

"Bisa-bisanya kamu ngga ada waktu suamimu sakit, bahkan sampai masuk rumah sakit begitu" tambahnya mungkin karena dia tidak merespon.

"Farrel bilang udah baikan Ma" pelannya berusaha membela diri, toh memang itu yang dia dengar kemarin.

"Aku ke Surabaya karena memang ada kerjaan disana, Farrel udah kasih tahu kan?"

"Kalau sudah menikah ya urusannya bukan masing-masing lagi. Jangan egois dan cuma pengin menang sendiri aja."

"Jadi maksud Mama, Farrel sakit gara-gara saya? Gara-gara saya egois dan ngga bisa jaga dia lebih baik dari Mama? Kenapa Mama ngga berpikir ini musibah, dan bukan cuma Farrel saya juga bisa kena musibah. Dan apa semua itu masih tetap salah saya?"

Gita mulai tersulut emosi. Beruntung ruang tunggu ini bergabung dengan poli eksekutif, melebar ke arah kantin dan minimarket di ujung lantai dua. Tidak ada sekat jadi selagi dirinya tidak berteriak, lebih banyak orang tidak peduli dan hanya sesekali lewat.

"Musibah kan bisa dicegah, diantisipasi. Jangan cuma nerima-nerima dan pasrah aja!"

Gita benar-benar tidak sabar. Dia tahu sudah sejak lama mertuanya bersikap aneh. Jarang menyapa, jarang mengajak ngobrol dan lebih sering menghindarinya.

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang