"Gita, istri gue!" jelas Farrel bahkan sebelum dirinya memperkenalkan diri.
"Gue tahu, cuma baru ketemu langsung aja, iya kan Git?"
"Salam kenal ya Kak" katanya setelah berjabat tangan.
Ini kali pertama dia bertemu Arikh secara langsung. Tapi nama itu sudah sering didengar saat Farrel mulai 'nyanyi' soal kerjaan lalu merembet ke cerita masa kecilnya dengan sepupunya dan bagaimana akhirnya kedua orang tua Farrel menganggap Arikh seperti anak kandung mereka sendiri. Pria itu bahkan memanggil kedua mertuanya dengan panggilan Mama-Papa. Jelaslah bahwa kedua orang tua Farrel juga menyayangi 'putra keduanya' itu.
Dibanding Farrel, Arikh ini tidak terlalu tinggi walaupun dirinya tetap pendek dari dua pria itu. Arikh punya alis yang tebal dan bulu mata yang cukup panjang dengan bola mata cokelat gelap. Jika hal ini belum cukup, maka menyaksikan pria itu yang selalu antusias dan sesekali tersenyum bahkan tertawa-yang menampakan cekungan di pipi kanannya- adalah sebuah keindahan tersendiri. Malam ini pria itu menarik perhatian dengan penampilannya yang biasa saja, kaos putih dengan blazer rajut yang lengannya ditarik sesiku. Dia jadi berpikir ada berapa hati yang patah di hari pernikahannya dengan Rania. Dan bagaimana perempuan yang malam ini kerepotan-dengan bayi yang rewel di gendongannya- bisa bertahan dengan drama cemburu selama ini.
"Doain aja ya Budhe, nanti kalau udah waktunya pasti dikasih"
Kalimat Farrel membuyarkan lamunannya. Jadi, sampai mana obrolan ini? Sejak kapan disekitarnya jadi semakin ramai? Siapa yang bertanya tadi? Perempuan dengan terusan batik selutut atau wanita disebelahnya yang sangat mirip dengan Mama Farrel tapi dia lupa namanya.
"Mamamu ngga komplain?" tanya wanita yang mirip mertuanya.
"Nggak" jawab Farrel lagi, jelas sekali pria ini terganggu.
"Kita doain aja yang baik-baik Budhe, lagian mereka baru sebulan menikah. Kalau langsung punya anak nanti dibilang ada apa-apa lagi" Arikh menimpali. Kali ini dengan Alfa yang sudah berada di gendongannya, sementara Rania entah kemana.
***
"Gita" panggil Papa pelan, tapi sarat penekanan.
Gita balik badan tapi masih belum berani mengangkat muka.
"Farrel bener belum kasih tahu kamu?"
Gita menggeleng "Maaf Pa."
"Mama ada sakit jantung dan darah tinggi jadi makannya benar-benar harus dijaga. Jangan ngasal!"
"Kalau soal udang Mamamu memang udah lama ngga makan itu, karena pernah alergi dan kemungkinan itu seafood"
Gita menatap ujung-ujung jari kakinya. Papa sama sekali tidak membentaknya, hanya menyampaikan kalimat-kalimat yang sayangnya tetap tidak mengenakan telinga.
"Bi Ida, mana makanan buat ibu?"
"Eh, ini pak biar saya aja..."
"Kasihkan ke saya aja."
Papa berlalu. Tapi dirinya masih berdiri ditempat. Rasa tidak nyaman yang beberapa bulan ini dia rasakan ternyata benar. Dirinya tidak pernah dibentak, bahkan kedua orang tuanya hampir tidak pernah marah sambil berteriak. Apa itu yang membuatnya kecewa malam ini. Sebuah kesalahan yang tidak sepenuhnya salah, karena dia benar-benar tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (Tamat)
Teen FictionEpiphany~sebuah momen dimana seseorang menyadari akan sesuatu yang berharga untuknya.