Dua Belas

40 4 0
                                    

Ponsel Farrel berdering sejak tadi, tapi yang punya sedang ada di kamar mandi. Dari Mama, dan dirinya malas menjawab. Panggilan itu langsung berubah jadi tak terjawab untuk kemudian di susul dengan panggilan berikutnya. Apa ini penting?
Gita meletakan mangkuk berisi bubur halus milik Papanya di atas meja tempat tidur.

"Bentar ya Pa" kemudian diraihnya benda berukuran lima inchi diatas meja.

"Halo Ma..."

"Kok kamu yang jawab, Farrel mana?"

"Farrel lagi di kamar mandi. Ada yang penting? Atau nanti aku minta dia telfon Mama lagi..."

"Nggak usah, nanti Mama telfon lagi."

"Oke."

"Gita" panggil suara di seberang saat dirinya hendak berpamitan.

"Iya Ma?"

"Bisa Mama ketemu kamu hari ini?"

***

Setelah pamit dengan Mama dan Nayla, Gita menuju tempat janjiannya dengan Mama mertuanya. Sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Gita hanya perlu menyebrang lewat jembatan penghubung dan berjalan sekitar lima menit. Sebuah kafe bergaya vintage dengan dekorasi artistik memberi nuansa hangat dan romantis. Dia pernah beberapa kali ke tempat ini, bersama Nila.
Gita memesan teh tarik dan untuk Mama dia pesankan teh kamomil. Banyak yang berubah dari terakhir kali dirinya kemari. Mungkin nuansa yang lebih artsy. Di zaman sekarang, sebuah usaha bukan hanya menjual rasa, tapi juga nuansa, banyak postingan entah sengaja atau tidak akan membantu incame usahanya. Apalagi jika ditambah review yang positif dan menarik, seperti iklan tak berbayar.

Mama tiba lima belas menit kemudian. Tak lama setelah pesananya jadi. Kita mencium tangan Mama sebelum duduk kembali.

"Saya nggak lama, kamu juga pasti sibuk sekali. Gita, bisa jangan berada diantara saya dan anak saya?"

Dipandangnya wanita didepannya. Air mukanya tidak berubah, bahkan setelah menyampaikan kata-kata ajaib itu.

"Kamu tahu apa yang terjadi sama Farrel akhir-akhir ini? Saya seperti nggak kenal anak saya lagi. Saya tahu kamu istrinya, tapi saya adalah Mamanya. Harusnya dia lebih memilih saya daripada kamu..."

Perutnya seperti diaduk dan asam lambungnya seperti disembur naik. Tiba-tiba dia mual. Gita tahu hari ini pasti terjadi, pada akhirnya kalimat Mama barusan akan dia dengar, bahkan detik ini menjelma menjadi sebuah permintaan.

"Jangan minta Farrel buat milih antara saya atau kamu."

Kedua mata wanita didepannya merebak. Sementara sudah sejak tadi air matanya lolos turun.

***

Gita berjalan di lorong rumah sakit menuju kamar rawat Papanya. Di kepalanya masih berputar kalimat-kalimat mertuanya beberapa saat lalu. Dadanya sesak dan perutnya tidak nyaman. Sebuah keajaiban dia bisa sampai disini.

"Saya nggak minta banyak, saya cuma mau kamu jangan berada diantara saya dan Farrel."

Apa maksud Mama dengan kalimat itu? Apa mertuanya ingin mereka berpisah? Sejahat itu kah? Tapi kalimat berikutnya membuat kepalanya sakit karena memikirkan maksud perempuan itu.

"Kamu akan tetap punya tempat sendiri buat Farrel, tapi sisakan sedikit ruang buat saya tetap berarti buat anak saya."

Gita menghapus sisa-sisa air mata sebelum masuk ke kamar ranap Papa. Mama masih disana, memijit-mijit kaki Papanya. Sementara Nayla sepertinya ketiduran.

Sebelum pergi, mertuanya sempat menanyakan kondisi Papanya.

"Saya berdoa biar Papa kamu cepet sembuh. Salam buat keluarga kamu yah."

Dia belum sempat mengatakan apapun saat sensasi mual menyerang karena ludahnya yang kental. Gita berlari ke kamar mandi dan muntah disana. Tidak ada yang keluar, karena perutnya hampir kosong. Bubur ayam yang dibelikan Farrel tadi pagi hanya dia makan dua suap, dan dia melewatkan makan siang demi bertemu mertuanya. Teh tariknya juga belum dia minum sama sekali. Setelah ini, Nila pasti akan memarahinya habis-habisan.

"Kak, kamu nggak pa-pa?" tanya Mama begitu dirinya keluar kamar mandi.

"Kamu pucet banget, tadi keluar ngga sekalian beli makan?"

"Belum laper Ma" jawabnya kemudian merebahkan diri di sofa.

Mama sibuk dengan kotak makanan dan membuka isinya. Ada sayur asem kesukaannya, dan bakwan jagung yang sudah dingin.

"Makan dulu, habis ini pulang aja. Istirahat di rumah, biar Mama yang gantiin jaga Papamu"
Gita mengambil sepotong bakwan jagung lalu melahapnya.

"Tunggu Farrel kesini, nanti pulang bareng Nayla. Dia ada interview susulan besok."

Ditatapnya adiknya yang masih tidur. Posisinya meringkuk sambil memeluk ranselnya.

"Aku disini aja sama Mama."

"Engga Gita! Masa Farrel berdua cuma sama adikmu di rumah. Lagian kamu udah dua hari nginep sini. Pulang dulu, cutimu sampai kapan?"

Gita menghela nafas lagi. Dia manyuap sayur asem dan sedikit nasi. Seharusnya makanan ini bisa mengembalikan moodnya jadi lebih baik. Tapi pikirannya tidak bisa lepas dari kata-kata mertuanya beberapa saat lalu. Sudah hampir dua minggu Farrel juga jadi menginap di rumah orang tuanya, hampir setiap hari mertuanya menelfon, dan dirinya sempat mendengar ibu dan anak itu berdebat. Dia tidak ingin ikut campur, Farrel bilang orang tuanya adalah tanggung jawabnya. Orang tuanya adalah orang tuanya juga. Tapi dia benar-benar tidak ingin kembali ke rumah itu. Seenggaknya dalam waktu dekat.

"Farrel kayaknya lagi nggak enak badan, Kak. Jadi pulanglah dulu, temani dia di rumah. Kasihan suamimu jadi ikutan repot bolak balik."

Gita menelan makanannya setelah memastikannya terkunyah halus.

"Jangan sampai kalian jadi ikut-ikutan sakit gara-gara kecapean. Kamu harus kerja, Farrel juga pasti capek."

Mungkin karena dirinya tidak juga merespon, Mama menghela nafas kemudian duduk semakin dekat. Kedua tangan itu menggenggamnya.

"Kak, masalahmu belum selesai? Mau Mama kasih saran?"

"Mama Farrel ngga suka sama aku Ma, nggak pernah suka..."

Dia tidak bisa menyimpannya sendiri. Bicara dengan Farrel pun tidak memberinya solusi. Tapi pantaskah hal ini dia ceritakan pada orang lain? Walaupun itu keluarganya sendiri? Tapi dirinya butuh dibela, butuh didengarkan.

"Kenapa bilang begitu?"

Gita menggeleng, "Yang aku rasain, Mama selalu merasa aku mau merebut Farrel dari dia. Aku yang selalu jadi alasan Mama sama Farrel berdebat. Aku nggak mau tinggal disana Ma..." dipeluknya Mama erat, yang langsung membalas sama eratnya.

"Nggak pa-pa, Kak. Nangis dulu nggak pa-pa..." kata Mama masih dengan suara pelan, dan tenang. Sambil tangannya dia rasakan mengusap punggungnya pelan.

Pelukan Mama selalu membuatnya tenang. Entah berapa lama waktu terbuang dan dirinya masih memeluk wanita berumur lima puluhan ini.
Kemudian pelukannya dia uraikan. Diusapnya air matanya dibantu Mama.

"Kak..." genggamannya diremas erat, "Kakak tahu kan gimana kondisi Farrel di rumahnya? Dia anak satu-satunya, jadi Mama yakin Farrel juga ingin kasih yang terbaik buat orang tuanya."

"Bukan Mamanya Farrel berpikir kamu bakal merebut Farrel dari dia. Tapi setiap ibu nggak akan pernah mau jauh-jauh dari anaknya. Mama Farrel cuma menyampaikan apa yang dia rasakan, Sayang."

"Hubungan manusia itu rumit, Nak. Nanti, kalau kamu punya anak, kamu juga pasti akan merasakan hal yang sama."

"Terus aku harus apa Ma?"

"Gita yang sabar, jangan gampang emosi. Bicara baik-baik sama Farrel, sama orang tuanya. Kalau Gita tulus, siapapun akan luluh, Kak. Doa sama Allah."

Gita tahu dia bukan orang yang sabar. Juga bukan hamba yang taat. Jadi, apa doanya akan dikabulkan? Atau justru tidak akan didengar sama sekali?

"Jangan kasih pilihan yang sulit, Nak. Karena ini juga nggak mudah buat suamimu."

Jadi, apa dia yang harus memutuskan?

***
Pikiran-pikiran positif akan membawa kita bertem.u hal-hal yang baik, dan orang-orang baik.
-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang