"Trus Yosi kemana?" tanyanya dengan nada meninggi. Jika dirinya benar, pasti sedang ada masalah di Sisa Rassa. Apa masih ada hubungannya dengan masalah komplain costumer yang sempat viral beberapa waktu lalu?
"Ya makanya kan gue bilang waktu itu, kita harus lebih hati-hati. Nyepelein banget sih kalian!"
Gita menarik cangkir teh ke tengah, khawatir tersenggol lalu pecah, yang sempat menarik perhatian Farrel sekian detik sebelum kembali pada telfonnya."Gue ngga mau tahu, lo cari Yosi sekarang. Suruh ke warung...Ya sabar gue juga butuh waktu buat kesana!"
Kemudian dia hanya menyaksikan dengan padangan, bagaimana pria itu kembali ke kamar dengan jaket di tangan kanan lalu masuk lagi ke kamar sambil mengumpat. Terakhir, Farrel benar-benar pergi tanpa meminum tehnya sama sekali.
Gita menatap cangkir didepannya, yang isinya belum berkurang sama sekali. Farrel memang sedang banyak masalah, soal kerjaan, soal klien, soal warung, dan soal dirinya. Bahkan sebelum masalah warung hari ini, dirinya sudah menghancurkan mood pria itu berhari-hari lalu.***
Gita membasuh muka kemudian memandang pantulan dirinya dari cermin. Sudah hampir tengah malam tapi Farrel belum pulang. Apa masalah di warungnya lebih complicated dari sebelumnya? Atau sebenarnya sudah selesai dan pria itu terjebak macet, mengingat hujan baru reda menjelang pukul sebelas. Atau yang lebih parah, mungkin Farrel menginap di warung karena seingatnya ruko kecil itu memiliki lantai yang digunakan untuk ruang istirahat dan bersantai. Alasan terakhir lebih masuk akal, daripada energinya yang tinggal seberapa dia adu dengan kemacetan Jakarta, maka tidak ada lagi yang tersisa sampai di rumah untuk menghadapi dirinya.
"Aku menikah sama kamu karena aku mau hidup sama kamu. Karena aku cinta sama kamu dan aku ngga mau orang lain selain kamu. Aku pikir kamu mau menikah sama aku karena kita punya perasaan yang sama."
Jelas Farrel sangat kecewa waktu itu. Bagaimana tidak, dia sangat tahu bagaimana perasaan pria itu selama ini. Bagaimana Farrel tetap berusaha dan menunggu dirinya bersedia dan siap untuk menikah.
"Jadi selama ini aku pikir kamu bahagia. Tapi ternyata aku aja yang ngerasain itu? Jadi selama ini kamu sebenernya ngga cinta sama aku, terus kenapa kamu bilang "yes" waktu itu? Sebegitu ngga pentingkah apa yang aku bilang didepan banyak orang kemarin? Kamu bikin aku jadi orang paling jahat disini!"
Lagi, Gita memejamkan mata sesaat sambil mengisi paru-parunya yang sesak kemudian memandang cincin mungil di jari manis tangan kanannya. Bukan pria itu, tapi dirinya yang jahat. Dia hanya ingin melindungi diri dan segala hal yang mungkin akan menyakitinya suatu hari. Dia hanya tidak ingin gagal lagi, karena membaca buku yang sama tidak akan mengubah jalan ceritanya.
"Silakan kamu sakiti aku berkali-kali, tapi aku yakin kamu juga nggak akan baik-baik aja karena itu."
Gita menghela nafas lagi. Kali ini lebih panjang. Bagaimanapun masalah ini harus diselesaikan, setidaknya dirinya harus minta maaf. Apapun keputusan Farrel, dirinya akan menerima. Kalaupum pria itu berniat membatalkan....
"Sebentar aja" pinta seseorang pelan begitu memeluknya.
Gita yang masih mempelajari situasi hanya membiarkan saat Farrel memeluknya erat bahkan dirinya belum sempat menutup pintu kamar mandi dengan benar. Dia biarkan keadaan tetap begitu sementara dirinya masih bingung harus merespon apa, sementara Farrel masih memeluknya erat. Bahkan dia seperti merasakan jantung pria ini berdegub dalam dirinya.
"Rel?"
Farrel menghela nafas keras kemudian melepaskan pelukannya.
"Soal omonganku ke Papa waktu itu, aku minta maaf..." ditatapnya kancing baju ketiga pria itu sementara dua teratasnya sengaja dilepas. Kemejanya lembab, sepertinya Farrel sempat kehujanan. Ditatapnya pria yang tengah menatapnya tenang. Tapi seketika dia tidak bisa mengenali apa yang disembunyikan air muka tenang itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (Tamat)
Teen FictionEpiphany~sebuah momen dimana seseorang menyadari akan sesuatu yang berharga untuknya.