Dua Puluh Sembilan

44 4 0
                                    

Farrel menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan.

"Gue ketemu mereka Nay."

Nayla mengangguk, "Gue tahu. Ka Gita cerita. Jadi gimana? Skala mirip banget sama elo kan?"

Mirip, memang. Semakin dia lihat anak usia tiga tahun itu memang mirip dirinya. Nathan dan Nugo juga setuju.

"Emang lebih gampang nyari lewat gue yah Kak. Gue tahu elo bekerja keras banget..." sinisnya.

"Mereka dimana Nay?" detik berikutnya Farrel meralat pertanyaannya, "Mereka baik-baik aja?"

"Gue bisa pastiin mereka sehat dan baik-baik aja. Cukup?"

Dia menunduk, berusaha menahan rasa ingin tahunya lebih dalam. Sementara dirinya tahu ini tidak akan mudah.

"Kenapa bohong soal Malang?"

"Elo nggak butuh penjelasan dari gue Kak. Elo kesini juga bukan buat gue."

Dia tahu meluluhkan Nayla lebih sulit, walaupun melakukannya pada Gita juga tidak mudah.

"Elo tahu? Gue pernah nyesel banget setuju elo nikah sama Kakak gue kalau gue tahu elo akan bikin hidup dia hancur kayak gini."

Nayla pantas marah, dia pantas kecewa. Karena sebagian besar, bahkan hampir semua ini terjadi karenanya. Bukan hanya Nayla, tapi seluruh keluarga perempuan ini punya hak melakukan hal yang sama.

"Untuk pertama kalinya gue denger ada orang yang omongannya nyakitin kayak Mama elo kak. Gue nggak bayangin gimana Kakak gue bisa bertahan berbulan-bulan tinggal sama orang tua elo. Dan waktu dia minta pergi, gue jadi orang pertama yang mendukung keputusannya!"

Farrel menghela nafas lagi, kali ini dia hembuskan sambil menutup mata.

"Gue minta maaf. Atas nama orang tua gue, gue minta maaf udah bikin elo sakit hati."

"Kakak gue sampe ke psikolog gara-gara elo sama keluarga elo Kak!! Elo pikir bisa dimaafkan dengan mudah?" emosinya meledak.

"Elo pikir Kakak gue pergi sejauh ini, ke tempat yang sama sekali kita nggak tahu dan nggak ada yang kita kenal. Berbohong bertahun-tahun sama keluarga kita bahkan ninggalin makam Mama yang belum kering biar apa? Terus elo sekarang berharap dimaafkan?"

Farrel menggigit bibir bawahnya keras, "Let me know Nay, apa yang harus aku lakuin buat bayar semuanya?"

"Nggak ada. Jangan berharap elo bisa sedikit aja keluar dari rasa bersalah elo. Don't think about that, you ass!"

"Kak Gita nggak ada disini!" serunya hampir berdiri tapi tangannya lebih cepat menahan.

"Plis Nay. Kasih tahu mereka dimana. Gue juga nggak baik-baik aja. Gue cinta sama Gita."

"Cinta elo nggak bikin dia bahagia sama sekali Kak!" seru Nayla hampir menjerit.

"Waktu dia butuh elo buat berlindung dari orang tua elo. Elo kemana Kak? Elo bikin dia nggak bisa kemana-mana. Elo minta dia tinggal tapi elo nggak bisa jaga dia bahkan dari keluarga elo sendiri? Kakak gue babak belur elo masih maksa dia bertahan? Gue pengin kakak gue benci banget sama elo!"

Untuk apa yang pernah dilepaskannya dulu. Dirinya sempat berdoa agar mendapatkan balasan yang setimpal. Beginikah?

Farrel mengangguk beberapa kali, "Gue cuma pengin liat mereka sebentar. Kalau Gita nggak mau ketemu sama gue, it's oke. Gue cuma pengin liat mereka, dan mastiin mereka baik-baik aja dengan mata gue sendiri."

Nayla menatapnya dengan amarahnya sejak tadi dan tidak mengatakan apapun.

"Let me know Nay. Gue nggak pernah minta pisah sama Gita, but she did. Bahkan untuk sebuah perpisahan, gue bersedia melakukan itu cuma karena Gita yang minta."

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang