Agathon terdiam sesaat. Aku rasa dia sadar akan kadar tinggi dari kebencianku. "Terus? Mantan?"tebak Agathon lagi.
"Aku benci mengakuinya." Kataku sengaja memenggal. Masih menatap benci ke arah David.
"Dia kakakku." Kataku dingin.
******
WARNING TYPO BERTEBARAN!
HARAP MENINGGALKAN BINTANG ATAU COMMENT
JANGAN PLAGIAT ATAU APAPUN TANPA SEIJIN AUTHOR
******
Chapter 14 : Agathon Past
New York. Salah satu kota milik Amerika yang sangat terkenal. Kota yang tidak pernah tidur, mungkin itu juga salah satu sebutan dari tempat di dirikannya patung Liberty. Apa lagi? Hmm.. keren mungkin? Maafkan aku jika terlihat udik, tapi inilah perasaan orang yang tidak pernah keluar dari negaranya sendiri. Mengunjungi kota lain pun jarang selain Bekasi dan Bandung.
Mataku berkeliling, banyak sekali manusia berkulit putih pucat disini, atau kulit coklat seperti Agahthon. Atau, orang berkulit hitam alias negro. Jujur, aku pernah liat orang seperti ini di sevel saat masih SMA. Terlihat seram, tapi siapa tau dia orang baik? Don't judge book by it cover.
Sebuah tangan kekar melingkar di atas pagar, eh salah, maksudku melingkar di pinggangku yang ramping. Tebak tangan siapa? Agathon lah, siapa lagi?
Aku mendongkak untuk mendapatkan jawaban kenapa dia melingkarkan tangannya ke pinganggku.
"Supaya gak ilang." Jawabnya tanpa aku bertanya.
Hilang? Emangnya aku anak kecil?! Geramku sebal dalam hati.
Eh, bener lho Nes. Liat aja sekeliling. Rame kan? Kalau kamu ilang, kamu juga yang repot kan? Batinku membela habis-habisan Agathon.
Oke, aku menyerah.
Aku terus mengikuti arah jalan Agathon sampai akhirnya seorang lelaki ber jas hitam dengan kemeja putih menundukkan badannya sedikit ketika Agathon dekati. Dia menyerahkan kunci mobil lalu Agathon membukakan pintu bagian kanan. Seperti biasa, gentle.
Saat aku masuk, Agathon dengan lembut menutup pintu mobil ini. Mobil warna biru metalik dan interior yang tak kalah menakjubkan. Tapi, sepertinya mobil ini pernah aku lihat, hanya berbeda warnanya saja.
Agathon memutar untuk mencapai kursi pengemudi yang di sebelah kiri. Sama seperti saat aku pergi ke bandara bersamanya. Dia masuk dengan anggun. Menyalakan mesin lalu meluncur dari bandara JFK yang padat tetapi bagus tersebut.
"Orang tadi di tinggal gitu aja?" tanyaku saat sadar hanya aku dan Agathon di mobil ini.
"Enggak, dia sekalian bawa barang." Agathon masih fokus pada jalanan di depan. Jalanan ini terlihat lenggang dan sepi, oh juga bersih. Aku membandingkannya dengan tol di Jakarta. Padat dan penuh. Agathon memacu kecepatan lumayan tinggi, aku sempat berfikir apa tidak kena tilang?
"Sir, gak kena tilang kalau segini cepat?" tanyaku ketika menyadari benda-benda di kiri dan kanan bergerak sangat cepat.
"Di USA, ada titik-titik tertentu yang kena kamera pengawas, dan biasanya orang sini udah hafal. Jadi, kalau mau ngebut-ngebutan yaa, harus pinter-pinter. Dan trus, tilang gak kayak di Indo, di berhentiin sama petugas. Disini dikirim surat tilang ke rumah." Jelas Agathon tenang.
Aku manggut-manggut. Walau sebenarnya aku tau, tapi aku tidak menyangka, film-film yang aku tonton banyak yang benar. Aku jadi membayangkan film Fifty Shades, apa ada bangunan Grey House? Atau Avanger, pesawatnya ada gak ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
One Last Chance
RomanceSeorang wanita bernama Nesya Maggie Andora yang tidak pernah merasakan rasanya punya pacar pun seperti di pertemukan dengan seseorang yang sangat amat sempurna sebagai teman baru mereka. Pindahan langsung dari luar negri dengan minim bahasa indonesi...