Bau bumbu menguar di penciumanku. Aku terus mengaduk se tepat mungkin supaya hasilnya menjadi baik dan enak. Ya, aku sedang memasak.
Tolong jangan bayangkan makanan khas restoran, aku sedang tidak mood untuk memasak hal-hal lama dengan porsi sedikit itu. Kali ini, aku menerapkan menu makanan di rumah ketika sebelum aku pergi ke asrama.
FYI, aku dan ayahku -mungkin- serta adikku punya makanan kesukaan yang sama. Yaitu ... jeng .. jengg.. ikan teri! Gak special juga gak papa, tapi jika di ingin di tambahkan, harus pakai tempe, tidak ada yang menyukai kacang goreng di campur ikan teri. Terutama diriku yang cantik ini.
Oke, stop memuji diri, aku merasa menyedihkan ketika mencoba memuji diriku sendiri.
Tiba-tiba sepasang tangan besar memeluk diriku dari belakang. Harusnya aku terbiasa, HARUSNYA! Tetapi, apa mau di kata, bahwa aku sekarang masih kaget dan mencaci maki kebiasaan Elliot yang menyebalkan ini dalam hati. Ya, cukup dalam hati, aku tidak sampai hati memarahinya dengan hal sepele ini. Kenapa? Aku rasa pekerjaan saja sudah akan menyita tenaga otaknya, apalagi jika aku ceramah?
Tidak terima kasih, aku cukup pengertian. Karena aku sangat tahu rasanya di ceramahi ketika lelah. Aku merasakaannya dulu. Dulu sekali ketika masih jaman SMA. Mungkin SMA kelas 1. Entah sepertinya sudah 5 tahun yang lalu? Lama juga ya.
"Tumben masak ginian." bisik Elliot pelan di kuping. Membuat terkadang bulu kudukku berdiri.
"Gak suka ya?" tanyaku lirih. Aku akan benar-benar menyesal ketika dia mengatakan 'tidak' atau bahasa tubuhnya.
"Asal enak, kenapa enggak?" Elliot mencium pipiku ringan.
Aku meluruhkan pundakku yang sedikit tegang menunggu jawabannya tadi. Syukurlah, itu memuaskan. Lalu bibir yang tadi mencium pipiku menuruni tulang pipiku, meninggalkan jejak panas di tempat yang habis di laluinya. Dan mendarat di pundak telanjangku yang hanya memakai kaos berleher lebar.
"Elliot, jangan menghancurkan fokusku dengan maha karya ini." tegurku pelan. Menahan mati-matian listrik yang menyerang seluruh tubuhku, bahkan hampir membuat semua sendiku tidak dapat di gerakkan. Beruntungnya diriku punya pengendalian diri yang lebih.
"Kamu terlalu manis untuk di biarkan sendiri." bisiknya di pundakku sebelum mengigitnya pelan. Aku berdoa supaya tidak meninggalkan bekas.
"Tolong lah." pintaku dengan lemah, takut terbawa arus dan di akhiri adegan ranjang ke 2? Aku memilih untuk makan nasi terlebih dahulu. Baru setelahnya aku tidur. Itu planning yang bagus bagiku.
"Fine." dia mengecup leher belakangku -aku menyanggul tinggi rambutku- gemas dan pergi.
"Mandi?" tanyaku dan aku fikir dia masih dekat untuk mendengar suaraku.
"Yap. Mau ikut?" godanya.
Aku mengalihkan pandangan ke belakang dan menemukan mata hijau tersebut berbinar penuh minat. Tersenyum sedikit dan menggelengkan kepala, aku geli melihat kelakuannya kali ini. Cukup -bahkan- tidak mencerminkan CEO dingin. Terpikir olehku CEO yang dingin itu hanya bualan semata.
"Jangan lama, masakannya udah mateng. Perutku udah ber demo." ucapku sambil mengaduk lauk dan mulai membuat sayur.
Dengusan sebal keluar dari hidung bangir Elliot. "Menyebalkan." sungut Elliot.
Aku terkikik pelan. Dan setelah itu, aku merasakan bahwa kehadiran Elliot menghilang dari dapur. Entah apa yang aku rasakan, -aku berdoa bahwa itu hanya perasaanku saja- pelukan Elliot mulai berkurang kehangatannya.
Apa aku terlalu khawatir? Terlalu besarkah pengaruh Clara dalam hidup Elliot sampai pelukannya yang selama ini aku idam-idamkan mulai berkurang kehangatannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
One Last Chance
RomanceSeorang wanita bernama Nesya Maggie Andora yang tidak pernah merasakan rasanya punya pacar pun seperti di pertemukan dengan seseorang yang sangat amat sempurna sebagai teman baru mereka. Pindahan langsung dari luar negri dengan minim bahasa indonesi...