Chapter 18. Bad mood

1.9K 139 8
                                    

Happy reading...
______

Marcell mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Suasana dalam mobil itu sangat hening, keduanya sama-sama terdiam.

Hingga tiba-tiba Marcell membuka pembicaraan yang mana membuat Sasya merasa tersinggung.

“Saya perhatikan, kamu gampangan, ya?” Ucap Marcell.

“Di kantor kamu dekat dengan Daffa, lalu saat diluar kamu juga dekat dengan pria lain dan tadi, saya perhatikan kamu juga mendekati Tuan William.” Sambungnya mengatakan semua itu dengan entengnya. Tanpa memikirkan perasaan orang yang tengah di bicarakannya.

Sasya reflek menatap sang Bos, ada kilatan amarah dimata hitam itu, “maksud bapak apa?” tanyanya dengan sewot.

Pria itu melirik sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Mengabaikan ekspresi Sasya yang sepertinya kesal mendengar perkataannya tadi.

“Ya itu..., cepat banget akrab sama cowok yang baru dikenal,” ungkap Marcell yang mana membuat Sasya semakin dongkol.

Gadis itu menatap sang bos dengan sinis, “ya terus, memangnya kenapa? Masalah buat bapak?! Lagi pula, saya mau deket, mau akrab sama siapa aja juga gak ada urusannya sama bapak!”

Sasya menatap ke depan, mendengus kasar, “Pak Marcell gak ada hak buat ngatur-ngatur saya!”

Marcell menoleh, tampak tak terima dibilang mengatur-atur.

“Kapan saya ngatur-ngatur kamu? Kan tadi saya cuma bilang kalau kamu itu gampang akrab. Salahnya dimana?” serunya seraya menaikkan sebelah alisnya.

Bingung melihat Sasya terlihat sangat marah, padahal kan ia mengatakannya sesuai dengan fakta. Lantas, salahnya dimana? Pikir Marcell yang merasa tak ada yang salah dengan ucapannya itu.

Sasya terkekeh mendengar jawaban Marcell. Pria itu sepertinya memang tidak pernah merasa bersalah, ia mengatakan sesuatu tanpa berpikir bahwa ucapannya itu bisa membuat orang lain tersinggung.

“Susah ya..., ngomong sama orang yang selalu merasa dirinya paling benar.” Sindirnya.

Gadis itu melirik Marcell, lalu membuang muka. Rasanya ingin sekali memukul wajah songong pria yang ada disampingnya ini.

“Bahkan...saya rasa bapak tidak merasa bersalah sedikit pun setelah membentak saya.”

Mata gadis itu tampak memerah dan berkaca-kaca, ia melanjutkan perkataannya dengan tanpa menatap Marcell.

“Asal pak Marcell tahu, bapak adalah orang pertama yang berani membentak saya. Disaat kedua orangtua saya saja tidak pernah membentak saya. Setelah melakukan itu apa bapak meminta maaf ke saya?” sambungnya.

Deg.

Tiba-tiba saja rasa bersalah itu muncul kembali, ia mengaku dirinya memang salah. Sekesal-kesalnya pada seseorang seharusnya ia bisa mengendalikan emosinya, apalagi pada seorang wanita. Karena wanita adalah makhluk perasa, sosok yang sensitif dari segi perasaan dan juga mudah tersentuh hatinya.

Sasya kini menatap Marcell dengan cairan bening yang sudah mengumpul di kelopak matanya, hingga cairan itu jatuh mengenai wajah mulusnya.

“Enggak, kan? Eum, bahkan bapak tidak hanya membentak, bapak juga terus mengatai saya lambat dan juga bodoh.”

Pria itu menghentikan mobilnya, ia kini menatap Sasya dengan perasaan bersalah.

“Saya tahu, saya salah. Saya menyadari itu, maaf saat itu saya tidak sengaja membentak kamu-” ucap Marcell meminta maaf.

Sasya menyela ucapan pria itu seraya menunjuk dengan jari telunjuknya. “Oh iya, satu lagi. Pak Marcell juga baru saja bilang, kalau saya itu cewek gampangan!” Serunya.

Hello, my boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang