Baru kemarin aku pikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen yang bergerak dalam diriku
(Kahlil Gibran)
Favian
Kukeluarkan sekotak rokok merek ternama dari saku celana abu-abuku. Lalu kuputar-putar dengan jemari. Agar mereka semua melihatnya. Sengaja. Tapi apa yang kulihat? Mereka tak memerhatikanku.
Aku berdeham.
Tetap saja mereka masih asik dengan obrolan seputar pertandingan sepak bola nasional tadi malam. Bah! Aku sih tak minat dengan permainan yang sering dijadikan bahan taruhan itu.
Langsung saja kuambil sebatang, dan kuhimpit pangkalnya dengan mulut. Tak menunggu lagi, aku langsung mengambil korek di saku baju dan menyulut ujung rokok tersebut. Ujungnya berganti warna merah menyala. Kuhirup perlahan dan ...
Uhuk, uhuk, uhuk.
Bah!
Aku malah terbatuk saat akan mengembuskan asap hasil pembakaran tembakau itu. Sontak mereka menoleh ke arahku, dan tertawa heboh. Sial nasibku. Niat mau pamer kalau aku bisa merokok, malah gagal. Harusnya aku belajar dulu baru memamerkannya.
Iya sih, mereka langsung mengalihkan pandangannya ke arahku, tapi tidak kagum. Ah, bodoh-bodoh! Kenapa harus batuk-batuk. Aku mengutuki diriku sendiri. Tertunduk malu. Bersiap menerima ejekan dari mereka.
Lagipula memang tak enak menghirup asap lintingan tembakau macam ini. Tapi mengapa mereka sangat menikmatinya? Bahkan sampai candu?
"Haha... Fa, kalau nggak bisa merokok nggak usah merokok, deh. Gitu aja batuk-batuk." Toni tertawa sambil memegangi perut buncitnya.
Sialan! Mereka kompak tertawa mengejekku. Wajahku memerah seketika. Padam. Malu.
Arrrghh... rokok ini benar-benar tak enak. Hanya menghirup asap dan mengembuskannya. Apa gunanya? Sama saja membakar uang. Goblok! Kalian yang tolol. Ah, tapi sekarang aku yang kelihatan sangat tolol. Aku gagal.
"Mending kasih ke kita aja rokoknya, Fa." Bagus ikut-ikutan. Rokok di tangannya mau habis.
Aku menyeringai. Tersenyum getir. Sesekali masih terbatuk. Sisa asap yang kuhirup belum sempurna keluar dari rongga tenggorokan. Bahkan masih ada yang menempel di dinding mulut.
Aku mulai bimbang. Meneruskan langkahku untuk merokok atau tidak. Nyatanya aku memang tak menyukai asap setan itu. Tapi aku ingin seperti mereka. Kelihatan lebih laki-laki.
"Fa," Farren menepok bahuku, "ngapain sih pake coba merokok? Mending nggak usah coba kalau nggak mau ketagihan. Kenapa juga tiba-tiba kamu merokok? Mending jadilah dirimu sendiri. Kita nggak pernah mempermasalahkan kamu harus merokok atau nggak, kan?"
Aku terdiam... Toni dan Bagus masih cekikikan. Farren benar. Ah, ia memang selalu bijak dalam menyikapi persoalan. Ia terlihat lebih dewasa dariku. Padahal umurku lima bulan lebih tua darinya.
Tiba-tiba ingatanku menangkap satu scene pada film Thailand berjudul My True Fried. Saat Song—anggota baru genk Sperm—ragu menerima rokok dari anggota lain genk tersebut, tapi Gun—ketua genk itu—dengan bijak menasehati Song untuk menjadi diri sendiri. Persis seperti Farren saat ini.
Dulu kupikir sosok Gun dalam film itu, mustahil ada. Meski katanya film tersebut diangkat dari kisah nyata. Tapi aku sadar, Gun nyata, ia di sampingku sekarang, dalam wujud Farren.
Sosok ideal untuk dijadikan seorang sahabat. Kenapa tidak. Gun begitu perhatian. Ia sangat meyanyangi sahabatnya dan berusaha mempertahankan persahabatan itu. Persahabatan yang tulus. Dan pribadi itu ada pada diri Farren.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...