Perbedaan adalah rahmat Tuhan, yang di dalamnya tertabur kekayaan jiwa yang besar, yang tidak tersedia hanya di dalam kesamaan.
(Mario Teguh)
Favian
Dunia seisinya memang diciptakan dengan perbedaan. Namun, Aku, Favian Farras Adhyastha tidak menyukai perbedaan yang terjadi di hidupku. Bagiku perbedaan ini terlalu aneh. Terlalu berbeda dan membuat aku tak nyaman.
Aku tahu. Aku sadar. Anggapanku tentang perbedaan ini sungguh keterlaluan. Hidupku berbeda dengan remaja cowok pada umumnya. Saat mereka tengah pada puncak euforia kebebasan dan kebahagiaan, aku malah tersekap. Pada dinding dingin serta peraturan tak tercatat yang mengikat.
Aku sudah jengah dengan kehidupanku yang sekarang. Aku ingin mengubahnya. Tapi bagaimana caranya? Saat mama terus mengekangku, dan papa, sering memarahiku. Padahal tidak semua amarahnya karena aku yang memang berbuat salah. Entahlah, mungkin pikirannya sudah kacau dengan pekerjaan di kantor.
Bukan mulai masa remaja sekarang saja, tapi sejak kecil. Hingga kebiasaan itu membuatku tumbuh menjadi cowok yang lemah. Cowok yang termanjakan oleh keadaan dan kasih sayang berlebihan. Kemandirian yang seharusnya kukuasi, bahkan tak pernah tersentuh ilmunya.
Jika aku dapat dilahirkan kembali, aku ingin terlahir kembali seperti Farren. Ya, Farren Frederiko, sahabat terbaikku. Cowok tangguh dengan tubuh tegap berkulit sawo matang. Rahangnya keras, matanya tajam seperti elang. Terkesan nakal.
Bukannya tak mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan, tapi aku sungguh ingin kehidupanku bisa kuatur sendiri, tanpa campur tangan orangtua. Aku anak tunggal, tapi tidak seharusnya dimanja mama hingga merangkak dewasa seperti ini, kan? Apalagi aku cowok. Sungguh akibat dimanja sejak kecil, aku seperti ketagihan akan manjaan. Sungguh!
Sedikit-sedikit merengek pada mama. Minta ini pada mama. Sedangkan papa? Aku tak tahu dengannya. Ia lebih sering diam, terkadang marah padaku, juga pada mama. Tapi aku yakin ia menyanyangiku. Yang paling kusebalkan jika ada salah paham dengan mama. Mereka berdua seperti api yang saling bertemu hingga berkobar. Sedangkan aku, hanya bisa bersembunyi di dalam kamar, menutup telinga dan pada akhirnya tertidur tak mendengar. Itu sampai sekarang.
Kini, aku mulai terusik. Aku tak ingin menjadi manja. Hati kecilku bersuara, ingin mengubah diri menjadi mandiri. Tapi jika terus-terusan berada di rumah, apa aku bisa?
Seperti menemukan seseorang untuk kujadikan contoh. Pelan-pelan aku ingin berubah. Ya, seperti Farren, sahabat terbaikku. Hanya ia. Toni dan Bagus? Ah, mereka hanya ikut-ikutan bersahabat denganku karena aku yang termasuk anak orang berada.
Meski kita punya inisial nama yang sama, tapi pribadi kita sungguh bertolak belakang.
Farren dengan mudahnya keluyuran, bahkan jika ia tak pulang tidak ada yang mencari dan mengkhotbahinya. Ah, betapa bahagianya ia, bebas layaknya elang yang terbang lintas batas. Mencari kebahagiaan untuk hidupnya sendiri. Bahagia yang hakiki karena tak ada belenggu yang menghalangi. Itu menjadikannya tumbuh menjadi cowok yang pemberani dan mandiri.
Namun ada satu hal yang kurang kusukai darinya. Kebiasaannya minum alkohol bareng Bagus dan Toni. Terkadang mereka sampai patungan membeli Jack Daniels. Tapi apa bisaku?
Dulu, aku merasa hanya seongok daging yang tak bisa apa-apa. Tak berguna. Bukannya cacat atau apa. Aku normal, tapi kehidupannya yang bisa dibilang tak normal.
Mama jarang sekali mengijinkanku main ke luar, meski sekarang pun masih seperti itu. Tapi tidak seketat dulu, karena Farrenlah yang jadi alibiku. Keluyuran, katanya itu tak berguna. Lebih baik belajar di rumah atau les Bahasa Inggris dan semacamnya. Namun aku selalu menolak dan saat itu juga mama-papa memarahiku, dengan alasan klasik, "Ini untuk kebaikanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...