Sahabat sejati dapat menunjukkanmu bahwa hidup tak seburuk yang kamu pikirkan dan masalahmu tak sebesar yang kamu takutkan.
(Anonim)
Favian
Aku sudah tahu setelah lulus akan ke mana. Aku dianjurkan mama untuk masuk UI. Jika tidak, UNJ atau universitas manapun asal masih dalam kota. Dan yang pasti harus kuliah. Aku pernah usul masuk ITB atau IPB, namun usulan itu ditolak mentah-mentah. Paling tidak aku bisa bebas di kost. Tapi sekali lagi, aku tak boleh keluar kota. Jauh dari mereka. Aku hanya bisa merutuki nasibku sebagai Prince Home.
Keputusan itu memperkuat keyakinanku, tak akan bisa menemui Anggrek di Bali. Anggrek ada benarnya juga tentang hal itu.
Sebenarnya aku punya rencana ke Bali nanti setelah lulus kuliah dan bekerja. Pasti orangtuaku akan memberi kebebasan. Jika tidak saatu kuliah di Bandung, bisa diam-diam melancong ke Bali. Aku yakin mama tak bakal tahu. Namun belum lulus saja, sudah diputusin. Ah, sial!
Kami berdua masih berada di kamar. Mama sudah memanggil-manggil kami untuk makan malam. Farren belum juga ganti pakaian.
"Ayo makan dulu, jangan terlalu dipikirkan. Gue mau ganti baju dulu, keluar dulu, gih." Farren bangkit dari ranjang, berjalan menuju lemari.
Aku menggeliat. Air mataku masih menggenang. "Ah... gue udah males ngapa-ngapain. Males makan juga."
"Ntar gue bantu cari solusi, deh. Sana turun dulu, tutup pintunya. Gue mau ganti baju," suruh Farren sambil memilah-milah baju di lemari.
Aku malah menggeliat lagi. Bermalas-malasan.
Melihat diriku masih tiduran, Farren mendekat dan tiba-tiba mendorongku ke tepi ranjang hingga hampir terjatuh.
"Gila lo. Apa-apaan sih? Hampir jatuh gue," amukku.
"Udah sana dulu, gih. Atau mau lihat gue ganti baju?" usir Farren lagi.
"Uhhhh..." malasku, "iya, iya... gue keluar." Dengan malas aku langsung bangkit dan keluar. Tak lupa menutup pintu.
Langkahku gontai. Menuruni tangga dengan malas. Wajahku kusut. Tak bersemangat.
Di meja makan, sudah siap semua makan malam. Papa sudah menunggu di meja. Sedangkan mama baru datang dari dapur, membawa sepiring buah-buahan.
"Farren mana?" tanya mama saat aku duduk.
"Baru ganti baju," jawabku singkat.
"Kamu kok lesu gitu. Nggak bersemangat." Papa menyahut.
"Ah, nggak apa-apa, kok. Biasa aja. Emang agak kepikiran masalah UN nih," kilahku.
Orangtuaku sebenarnya tak tahu kalau selama ini aku punya pacar. Ya. Sebetulnya aku masih dilarang pacaran. Nanti kalau sudah bekerja baru dibolehin. Katanya nggak ada gunanya. Pacaran akan menghambat prestasi saja.
Maka dari itu, aku memilih LDR. Meski teman-teman sering mengejek dan bilang kalau LDR itu sama saja tak pacaran. Tapi aku bersikeras LDR juga pacaran, bahkan lebih asyik dari pacaran normal. Namun kenyataannya LDR yang kujalani baru kandas begitu saja. Hanya tersisa puing-puing kenangan.
Ah, jika mengingat tentang itu rasanya sakit. Sakit karena cinta yang diagungkan kandas. Juga sakit karena kenyataannya, perkataan teman-teman benar.
"LDR itu cupu. Sama aja nggak pacaran. Seperti jomblo yang agak elit. Bayangkan aja, lo nggak bisa berduaan, nggak bisa berciuman, bahkan 'menjajalnya'," terang Toni waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...