Segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Meski kadang kamu tak mengerti alasannya, tapi dia selalu memberimu sebuah pelajaran.
(Anonim)
Farren
Kejadian tadi benar-benar membuat jantungku berdegup kencang. Namun aku berusaha untuk tegar dan bersikap biasa. Cowok senakal apa pun kalau berada pada keadaan seperti ini pasti akan bersikap sama sepertiku.
Kulihat wajah Favian, meski ia terlihat biasa saja—sama sepertiku, namun aku lihat dari sorot matanya, ia masih memikirkan hal itu. Aku jadi tak tega. Ini salahku. Kami memutuskan untuk langsung pulang.
Rumah masih sepi. Hanya ada pembantu yang tengah menjemur pakaian di belakang. Mama Favian belum pulang.
Sampai kamar, Favian melemparkan tasnya ke atas meja belajar, sampai mengenai lampu meja dan ambruk. Hampir saja terjatuh ke lantai. Kemudian membanting tubuhnya ke ranjang. Memejamkan mata mencari ketenangan. Namun tiba-tiba meraih guling di sampingnya dan dipukulnya.
"Aarrrgh...! Pengawas sialan!"
Aku memandanginya saja. Terlihat benar kekesalan itu masih berseayam di hatinya. Aku jadi tak enak. Kuletakkan tasku di atas meja belajar, dekat tas Favian.
Kejadian itu terjadi karena kesalahanku. Karena aku yang terus-terusan minta contekan padanya. Huh!
Yang kupikirkan bukan nanti aku lulus atau tidak, tapi Favian. Apalagi kulihat ia jadi pikiran seperti itu. Sudah seperti orang stres saja. Duh, aku jadi serba salah. Aku harus bagaimana sekarang?
Ujian ini penting bagi Favian. Pertempuran terakhir, setelah belajar tiga tahun. Dan aku merusaknya.
Kudekati Favian. "Nggak usah ekstrim gitu deh mikirnya. Sudah gue bilang, kita pasti lulus," kataku menyemangati.
"Tapi nggak juara kelas." Favian menyahut ketus.
Duh, aku semakin tak enak. Favian, please jangan gitu... Benarkan ia tadi hanya berpura-pura biasa saja. Nyatanya masih marah. Entah padaku atau pengawas sialan itu.
"Lo bakal tetep jadi juara kelas. Lihat temen-temen yang lain. Belum pasti mereka bisa mengerjakan semuanya. Ayolah...." hiburku.
Namun Favian diam. Ia merain bantal smile berwara kuning dan menutup mukanya. Duh, cowok satu ini memang manja. Aku duduk di tepi ranjang. Kemudian merebut bantal smile yang menutup muka Favian.
"Oke gue yang salah. Gue yang nyebapin ujian lo dihentikan. Gue minta maaf. Gue menyadari gue memang benalu. Bisanya mengharapkan contekan dari, lo. Sekali lagi gue minta maaf. Lo boleh benci gue. Tapi percaya satu hal. Gue yakin lo bakal lulus dan jadi juara kelas." Aku tertunduk. Sudahlah biar semua ini berakhir.
"Tidak ada alasan buat benci, lo. Gue cuma butuh senang-senang, untuk melupakan kejadian itu." Favian bangkit dan duduk bersila di atas ranjang. "Ntar malam kita keluar, yuk." Ia tersenyum.
"Ha? Tadi kayaknya lo stres banget. Kok tiba-tiba bisa berubah kaya gini?" Aku kebingungan. Kayaknya senyuman itu tulus. Atau ia cuma akting?
"Haha... gue berusaha niru, lo. Menikmati hidup ini dengan santai. Emang tadi sempat stres. Tapi gue yakin gue bakal lulus, meski tidak jadi juara kelas, tidak masalah. Bagaimana? Ntar malam kita keluar?" terang Favian.
"Oke, kebetulan Osi ngajak ketemu. Tapi apa dibolehin ortu, lo?" Ya, ia kn emang sulit buat keluar rumah. Apalagi keluar malam. Makanya aku ragu atas usulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...