BAB 16 - Di Tengah Malam

445 11 10
                                    

Jiwa yang sedih dapat membunuh Anda lebih cepat dari kuman.

(John Steinbeck)

Favian

Pagi datang, pekerjaan rutin di hotel sudah menanti. Huh. Saatnya jadi babu untuk mendapatkan beberapa lembar uang. Aku tak pernah terbayang sebelumnya bekerja sebagai seorang room boy. Kerjanya benar-benar menguras tenaga. Capek bukan main.

Yah, mungkin aku tak terbiasa dengan hal-hal semacam ini. Sapu, vacum cleaner, kemonceng dan keluarganya. Semuanya kuserahkan sama pembantu di rumah.

Tak pernah terbayang sebelumnya tentang apa yang kukerjakan sekarang. Rasanya berat, apalagi hatiku yang kurang, ralat, sulit mengikhlaskan bekerja seperti ini. Aku tak bisa sedikit pun menikmati atau bahkan merasa senang bekerja seperti ini. Pasalnya ini pekerjaan pertamaku yang tak pernah terbayang.

Hmmm, kuakui aku terlalu lemah, tapi bagaimana jika hati dan pikiran sudah tak sanggup. Oke sekarang aku hanya berusaha terus memaksa diri melakukan ini. Memang awalnya aku senang, tapi semakin ke sini... entahlah, rasanya sulit kuterima.

Aku terbiasa manja, terbiasa hidup dengan mudah. Tuhan... lagi-lagi aku berpikir semua kesalahan orangtuaku yang membiasakanku untuk dimanja.

Farren menguap lagi. Entah berapa kali aku melihatnya menguap pagi ini. Matanya terlihat sembab, seperti kurang tidur. Padahal setauku semalam ia tidur sebelum aku tidur. Bukankah seharusnya sudah cukup.

Rasanya malas sekali bekerja pagi ini. Ya, ya... seperti biasanya, aku harus membersihkan kamar. Mengganti sprei dan bahkan menemukan barang-barang tertinggal. Tak mengapa jika uang, tapi mengejutkan dan menjijikkan jika yang tertinggal macam kondom atau celana dalam bulukan. Apalagi bau amis sperma yang kadang masih tercecer di sprei. Sial!

Sudah tak menjadi rahasia lagi. Dua orang lawan jenis ke hotel untuk apa? Memang ada yang benar-benar untuk menginap, namun tak sedikit yang memanfaatkan privasi untuk melakukan hubungan intim. Entah itu yang sudah sah atau bukan. Bahkan ada yang sudah menjadikan hotel ini langganan. Semacam nge-gym saja.

Aku duduk di atas ranjang yang spreinya baru selesai kuganti. Capek banget rasanya. Dinginnya AC tak mampu membuat gerahku cepat pergi. Meski terus menguap Farren terlihat masih rajin dan bersemangat. Semangat kerjanya tinggi juga.

"Ren, bosen ya. Kerjanya gini mulu kaya babu," keluhku, "capek banget."

Farren mematikan vacum cleaner-nya. "Ya kerja emang gini. Di mana-mana sama aja. Sudah lanjut, gih."

Duh, kok nada suaranya agak jutek. Dengan sangat terpaksa kulanjutkan pekerjaanku. Aku bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi. Belum sempurna masuk ke kamar mandi, Farren mengingatkan, "Sudah telepon redaksi majalah buat cepet ditrasfer?"

"Sudah, katanya nanti. Ntar temenin cari majalahnya, ya."

"Iya, sekalian gue mau cari lowongan nyanyi lagi." Ia berkata datar. Setelah aku masuk ke dalam kamarmandi, kudengar vacum cleaner-nya hidup lagi.

Kamar mandi adalah lokasi yang paling menyebalkan untuk aku bersihkan. Sumap jijik banget. Emang sih kamar mandi hotel ini bersih, tapi setelah dipakai tamu, tak jarang baunya... ya ampun. Pesing.

Tak lama setelah selesai membersihkan kamar, Farren membantuku membersihkan kamar mandi.

Saat tengah menyikat bak mandi tiba-tiba HP-nya berdering. Dengan sigap, ia mengambilnya di dalam saku celana. Ia seperti terkaget saat melihat layar HP-nya.

"Siapa, Ren? Kok kaget gitu?" tanyaku penasaran.

Wajahnya mendadak gugup. Kentara banget. "En... nggak."

My Bromance [18+] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang